Persoalan tentang anak masih belum sepenuhnya menjadi perhatian pemerintah, khususnya dalam pemenuhan hak-hak dasar anak. Meskipun sejumlah upaya pemenuhan hak dasar anak telah dilaksanakan pemerintah, namun masih saja terdapat kebijakan yang belum berpihak pada anak. Kebijakan yang ada belum mampu memberikan jaminan dan perlindungan anak serta hak-haknya untuk bisa tumbuh dengan baik dan layak.
Pemerhati kebijakan publik, Prof. Muhadjir Darwin, mengatakan persoalan anak saat ini belum sebagai permasalahan krusial sehingga masih sering terabaikan di mata pemerintah. Permasalahan anak sering kali tidak masuk dalam agenda politik dalam pemerintahan.
“Pemerintah masih mengaggap isu anak ini tidak menarik, tidak seksi, dan menjadi isu sekunder,” tutur Guru Besar FISIPOL ini saat dihubungi, Kamis (19/11) di Kampus UGM.
Padahal, kata dia, persoalan anak adalah hal yang sangat penting dan harus segera ditangani. Pasalnya, anak merupakan aset dan menjadi generasi penerus bangsa di masa mendatang.
“Isu anak ini masalah seksi karena anak adalah masa depan bangsa,” tegasnya.
Menurutnya, kebijakan pemerintah Indonesia belum sepenuhnya menunjukkan keberpihakan pada anak. Salah satunya, terlihat dari penolakan peninjauan kembali oleh MK terhadap UU Perkawinan No. 1 Tahun 1974, terutama pasal pasal 7 ayat 1 tentang batas usia perkawinan. Dengan penolakan putusan tersebut, perkawinan di bawah umur menjadi sah meskipun bertentangan dengan ketentuan internasional.
“Pemerintah belum care terhadap pekawinan anak ini dan tidak dianggap sebagai suatu permasalahan besar,” jelasnya.
Dalam konvensi internasional ditetapkan batas usia perkawinan anak adalah 18 tahun. Namun, dalam UU Perkawinan Indonesia hal tersebut tidak berlaku, khususnya bagi anak perempuan. Perkawinan dapat dilakukan saat anak perempuan mencapai usia 16 tahun dan laki-laki 18 tahun. Dalam UU tersebut memberikan kelonggaran bagi anak perempuan yang belum mencapai usia 16 tahun bisa menikah dengan ijin dan dispensasi hakim pengadilan.
“Hakim saja masih diberikan keleluasaan, artinya negara belum bisa berbuat apa-apa untuk mencegah perkawinan pada anak ini,” terangnya.
Lebih lanjut disampaikan Muhadjir, pemerintah juga belum bisa memberikan perlindungan terhadap anak dari berbagai tindak kekerasan baik secara fisik maupun seksual dan eksploitasi pada anak. Sementara itu, kasus kekerasan pada anak dalam beberapa tahun terakhir semakin meningkat.
Data Komnas Perlindungan Anak tahun 2013 mencatat ada 3.023 pengaduan kasus kekerasan anak. Jumlah tersebut mengalami peningkatan hingga 60 persen dibanding tahun sebelumnya yang hanya 1.383 kasus. Dari jumlah tersebut 58 persen diantaranya adalah kasus kejahatan seksual pada anak.
Sementara itu pemerhati anak dari Fakultas Psikologi, Dr. Maria Goretti Adiyanti, menyebutkan terdapat peningkatan perhatian pemerintah terhadap pemenuhan hak-hak anak, terutama dalam bidang pendidikan dan kesehatan. Hal tersebut terlihat dengan adanya berbagai kebijakan yang ramah anak.
Ia mencontohkan pemerintah mengeluarkan kebijakan tentang larangan menerapkan tes calistung (baca tulis hitung) saat masuk sekolah dasar dan penerapan calistung di bangku taman kanak-kanak. Namun demikian, hingga saat ini masih terdapat sekolah-sekolah yang masih saja menerapkan persyaratan kemampuan calistung dalam penerimaan siswa baru.
Kendati telah ada perhatian dari pemerintah, dikatakan Adiyati, masih banyak pekerjaan rumah terkait isu tentang anak yang harus segera ditangani, seperti memberikan perlindungan terhadap anak dari berbagai tindak kekerasan baik fisik, verbal, maupun seksual. Pemenuhan hak mendapatkan perlindungan ini perlu menjadi perhatian besar mengingat maraknya kasus kekerasan terhadap anak dalam beberapa waktu belakangan ini.
“Untuk menekan angka kekerasan pada anak ini perlu melibatkan berbagai pihak seperti dari keluarga sendiri, guru, dan juga masyarakat,” katanya. (Humas UGM/Ika)