Sekolah Pascasarjana (SPs) UGM berencana menggelar International Graduate Student and Scholars Conference in Indonesia (IGSSCI) ke-7 yang bertajuk Knowledge, Power and Politics: Where is Humanity Heading To?’ yang berlangsung pada 4 dan 5 November mendatang di ruang seminar SPs UGM. Beberapa pembicara yang akan hadir antara lain Prof. Ruard Ganzevoort dari Vrije University Belanda, Prof. Purwo Santoso dari Fisipol UGM, Dr. Anna Halafoff dari Deakin University, Australia, Thomas R Seits dari Universitas of Wyming, Amerika Serikat dan Kuskrido Ambardi dari Lembaga Survei Indonesia.
Dicky Sofjan, Ph.D.,selaku ketua Steering Committee, mengatakan pelaksanaan konferensi internasional ini bertujuan untuk mengetahui pengetahuan mutakhir di berbagai bidang ilmu dan interdisipliner tentang praktik dan pengalaman kolaborasi konstruktif antara pengetahuan dan pemegang kekuasaan. “Ada banyak praktik dan pengalaman yang bisa menjadi contoh dalam mewujudkan cita-cita kemanusiaan dan keadilan,” kata Dicky kepada wartawan, Senin (2/11).
Menurut Dicky kenyataan saat ini ada kesenjangan antara dunia akademik dan dunia politik pemerintahan. Kaum intelektual seringkali melihat politisi dan birokrat sebagai orang-orang yang korup, pragmatis dan mementingkan diri sendiri. Sebalikya, tidak sedikit kalangan pemerintahan yang mempunyai persepsi bahwa ilmuwan dan akademisi sebagai penghuni ‘menara gading’ melakukan kerja-kerja intelektual semata tanpa memahami situasi nyata di lapangan yang seringkali menuntut kompromi dan nalar-nalar praktis yang tidak selalu mudah dipenuhi oleh nalar pengetahuan. “Kolaborasi antara ilmuwan dan penguasa sebenarnya bukan tidak terjadi, tetapi seringkali yang terjadi bukanlah kolaborasi yang konstruktif tetapi tidak lebih dari persekongkolan yang lebih didorong oleh hasrat untuk memenuhi kepentingan pragmatis individual atau kelompok,” ujarnya.
Ia menambahkan produk legislasi dan hukum yang dihasilkan oleh politisi adalah hasil dari produk negosiasi sehingga sarat akan kepentingan individu dan kelompok. Di lain pihak, para intelektual dan ilmuwan berkutat dengan dunia kampus dan tidak memilih turun ke lapangan sehingga sangat disayangkan. “Ilmuwan perlu turun dan mengaplikasikan hasil penelitian, tidak hanya dinikmati oleh ilmuan dan mahasiswa saja,” katanya.
Apabila ada kolaborasi antara ilmuwan dan para politisi serta pemegang kekuasaan, menurut Dicky tidak menutup kemungkinan bisa menghasilkan produk legislasi dan hukum serta kebijakan yang bersumber dari pengetahuan dan kearifan lokal. “Tapi jangan sampai para ilmuwan dikooptasi oleh negara,” pungkasnya. (Humas UGM/Gusti Grehenson)