Demokrasi elektoral di Indonesia melalui penyelenggaraan pemilu dan pilkada terus mengalami pematangan terutama dalam sisi pelembagaan dan penyelenggara pemilu. Sejak era reformasi, terhitung lebih dari 3.000 kali, KPU Pusat dan daerah sudah menyelenggarakan kegiatan pemilu dan pilkada pada masing-masing daerah. Namun begitu, ada berbagai tantangan dan persoalan yang perlu diatasi soal penguatan lembaga penyelenggara dan pengawasan pemilu, integritas penyelenggara pemilu, penguatan kapasitas pemilih yang belum mampu mengimbangi kekuatan negara serta penguatan kapasitas penyelenggara pemilu di daerah.
Hal itu mengemuka dalam Peluncuran buku Cerita Para Mantan, Kamis (24/3). Buku yang diinisiasi oleh Fisipol UGM ini berisi renungan renungan lepas tentang lembaga penyelenggara pemilu di Indonesia pasca reformasi yang ditulis oleh 30 penulis yang merupakan mantan anggota KPU dan Bawaslu.
Salah satu kontributor penulis dalam buku ini adalah anggota Bawaslu RI 2008-2011, Dr. Nur Hidayat Sardini. Dalam pemaparannya, NHS, demikian ia akrab disapa, menyampaikan penyelenggaraan pemilu dan pilkada setiap periode di daerah sudah mencapai 3.000 kali. Meski sudah melakukan pemilu dan pilkada sebanyak itu, lembaga pemilu terus transformasi penyempurnaan. Pasalnya, pemilu tahun 1999 merupakan pemilu eksperimen pasca orde baru.
Ia menyebutkan persiapan dan pelaksanaan pemilu pada tahun 1998-2000 merupakan fase eksperimentasi kelembagaan. Lalu, tahun 2000-2003 merupakan fase peletakan fondasi kelembagaan. Selanjutnya pada tahun 2004-2005 adalah implementasi elektoral terbaik lalu fase prahara pada tahun 2006-2007. Sedangkan fase konsolidasi pada 2008-2012. Adapun fase kematangan terjadi pada tahun 2013-2017. “Sekarang ini fase pasca kematangan yang diuji pada tahun 2024,” katanya.
Ia menilai dari sisi kelembagaan, dibandingkan dengan lembaga Bawaslu dan DKPP, KPU menurutnya telah memasuki fase kematangan. “Bawaslu sekarang termasuk masih terlalu dini jika dikatakan masuk ke fase matang. Pasca 2024, bagian menentukan bagi Bawaslu karena akan ada evaluasi publik dan pembentuk UU. Keberadaan Bawaslu bisa positif atau dievaluasi,” katanya.
Dalam kesempatan itu, HNS juga menyoroti soal pola klientelisme dan politik uang yang semakin menguat di daerah. Padahal, tujuan dari pilkada tersebut adalah adanya desentralisasi kekuasaan. “Keberhasilan pemilu elektoral saat ini tidak sekedar simbolis melainkan pemilu yang kompetitif. Tapi efek sampingnya ada problem makin menguat pola klientelisme dan politik uang sehingga pemilih tidak otonom dalam menentukan pilihannya,” ujarnya.
Sementara pengamat politik UGM, Dr. Abdul Gaffar Karim, mengatakan ada 30 penulis buku yang mengulas soal pengalaman para mantan penyelenggara pemilu yang menceritakan pengalaman mereka selama menjadi komisioner ataupun sebagai anggota Bawaslu. “Buku ini catatan refleksi para mantan yang mesti diketahui publik dan menjadi bagian dari sejarah Indonesia,” katanya.
Penulis : Gusti Grehenson