
Kementerian Pertahanan dan Keamanan RI berencana meluncurkan program bela negara pada 19 Oktober 2015 mendatang. Nantinya, akan dibentuk 4.500 kader pembina bela negara di 45 kabupaten/kota Indonesia. Dalam 10 tahun ditargetkan ada 100 juta rakyat yang mengikuti program bela negara ini.
Pengamat pertahanan UGM, Prof. Dr. Armaidy Armawi merespon positif program bela negara yang digagas Kementerian Pertahanan. Program tersebut dinilai mampu menumbuhkan kepedulian dan nasionalisme generasi muda terhadap negara. Selain itu, juga dapat mendukung upaya pertahanan negara.
“Program ini diperlukan sebagai bagian dari proses mewujudkan ketanahan nasional, apalagi melihat luas wilayah dan penduduk yang banyak. Hanya saja implementasinya harus disesuaikan dengan kondisi masing-masing wilayah,”katanya di Kampus UGM.
Kewajiban bela negara, kata Armaidy telah termuat dalam Pasal 27 ayat 3 UUD 1945. Pada pasal tersebut mengatur setiap warga negara berhak dan wajib ikut serta dalam upaya pembelaan negara. Menurutnya, pelaksanaan fungsi pertahanan negara merupakan tanggung jawab seluruh komponen bangsa, tidak terkecuali warga negar sehingga sebagai bagian dari kekuatan nasional, sudah sepatutnya rakyat turut serta dalam upaya pertahanan negara. Pelibatan warga negara secara langsung dalam program bela negara ini diharapkan dapat mendukung optimalisiasi pertahanan negara di masa mendatang.
“Rakyat bisa menjadi kekuatan pengganda bagi komponen utama pertahanan negara, yaitu TNI dan bukan sebagai wajib militer. Fokusnya pada penanaman cinta tanah air dan patriotisme, bukan persiapan militer untuk perang, ”jelasnya.
Melalui program bela negara ini, Armaidy mengatakan dapat menjadi solusi dalam memperkuat pertahanan ditengah keterbatasan jumlah personel TNI. Keberadaan rakyat sebagai pengganda kekuatan ini akan menghasilkan kekuatan yang lebih besar. Pasalnya, saat ini Indonesia hanya memiliki sekitar 500 ribu tentara aktif dalam pertahanan negara. Sementara idealnya sebuah negara memiliki pasukan keamanan sebanyak 1-2 persen dari total jumlah penduduknya.
“Untuk mencapai jumlah itu tentunya membutuhkan biaya besar, tetapi melalui program bela negara ini rakyat sebagai komponen cadangan bisa mendukung kekuatan utama pertahanan negara. Lewat langkah ini operasional pertahanan negara pun bisa lebih murah,”urai Kepala Prodi Ketahanan Nasional Sekolah Pascasarjana UGM ini.
Dalam pelaksanaan program Kemenhan dapat menggandeng berbagai institusi maupun perguruan tinggi untuk pemberian pelatihan bela negara. Konsep pelatihan fokus pada upaya pengembangan wawasan kebangsaan, nasionalisme, dan lainnya.
Menurutnya, program bela negara dalam tingkat awal telah dilaksanakan di setiap jenjang pendidikan Indonesia antara lain dengan penanaman nilai-nilai cinta tanah air dan kebangsaan melalui pendidikan kewarganegaran, kegiatan pramuka, serta kegiatan menwa.
“Sangat disayangkan, kenapa baru sekarang program ini dilakukan. Berbeda jika sudah diterapkan 32 tahun silam pasti akan jauh lebih hebat,”tandasnya.
Program bela negara telah diterapkan di berbagai negara seperti Singapura, Israel, Korea Selatan, Jepang, Amerika Serikat, dan Malaysia. Pelaksanaanya disesuaikan dengan sistem pertahanan masing-masing negara.
“Dengan program bela negara ini bisa untuk mendukung kegiatan pembangunan dan kemanusiaan, bukan hanya pertahanan negara saja,”terangnya.
Sementara Sosiolog UGM Muhammad Najib Asca, Ph.D., menilai pemerintah terlalu terburu-buru meluncurkan program bela negara ini. Menurutnya, pemerintah harus menyiapkan payung hukum program tersebut berupa undang-undang sebelum implementasi program.
“Program ini belum disusun dengan cermat dan komperehensif. Seharusnya dilengkapi dulu dengan perangkat hukum sebagai pilarnya agar memudahkan dalam pelaksanaan,”tegasnya.
Najib berharap pemerintah perlu memberikan penjelasan kepada publik terkait arah kewajiban dari program bela negara. Dengan demikian diharapkan tidak ada salah persepsi terhadap program ini.
“Selama ini timbul resistensi pada program ini karena pemerintah tidak membuka dialog dengan masyarakat sipil. Tidak sedikit yang mengira bela negara ini sama dengan wajib militer,”katanya.
Program bela negara telah banyak dilakukan oleh sejumlah negara di dunia. Namun, akibat proses penyusunan program yang tidak lengkap dan tanpa melibatkan masyarakat sipil akhirnya menimbulkan kesalahpahaman.
“Semestinya penyusunan program dilakukan secara partisipatif dan inklusif melibatkan kalangan sipil. Dengan begitu ada kesepahaman terkait arah program ini,”pungkasnya (Humas UGM/Ika)