Sejak tahun 1952, Depok mengalami kesulitan untuk berkembang sebagai pusat pertumbuhan baru. Dibandingkan dengan tiga kota satelit Jakarta lainnya, yaitu Tangerang, Bekasi, dan Bogor, kota ini mengalami keterpinggiran struktural dan hanya menjadi daerah pinggiran baik di Provinsi DKI Jakarta maupun Provinsi Jawa Barat. Hal tersebut disampaikan oleh Tri Wahyuning Mudrayanti, S.S., M.Si., dalam ujian terbuka program doktor di Fakultas Ilmu Budaya (FIB) UGM, Rabu (7/10).
Dosen Program Studi Sejarah Fakultas Ilmu Budaya Universitas Indonesia ini mengatakan bahwa faktor perencanaan pemekaran kota turut mempengaruhi lambannya Depok untuk berkembang menjadi pusat pertumbuhan baru. Dalam rencana besar kota megapolitan Jakarta, kota ini tidak pernah dirancang untuk menjadi pusat pertumbuhan baru.
“Depok merupakan kota setengah hati yang dirancang sebagai pusat pertumbuhan sekunder dengan pusat pertumbuhan utama di Bogor,”terangnya.
Sementara itu, tiga kota satelit lain di sekitar Jakarta, yaitu Tangerang, Bekasi, dan Bogor dirancang sebagai pusat pertumbuhan utama. Akibatnya, Depok juga tidak dihadirkan dalam terminologi Jabodetabek yang direalisasikan pada tahun 1975.
“Depok hanyalah ruang kota yang dimanfaatkan untuk kepentingan Jakarta,”katanya.
Menurutnya, pada satu sisi, Jakarta menginginkan Depok menjadi kota mandiri. Kendati begitu, kemandirian tersebut tidak menjadi beban Jakarta. Sementara di lain pihak, pemerintah Jakarta tidak menginginkan perkembangan penduduk Depok berbalik menjadi beban Jakarta. Seperti halnya yang terjadi pada kota satelit Kebayoran Baru.
“Jakarta telah menjadikan Depok sebagai kota setengah hati yang selalu tergantung pada kota induknya,”tutur Tri.
Kehadiran Universitas Indonesia (UI) sebagai simpul baru pusat pertumbuhan kegiatan di Depok pada tahun 1987, kata dia, belum mampu menunjang kemandirian kota secara langsung. Hal ini dikarenakan sifat simpul pusat pertumbuhan kegiatan baru tersebut semu, tidak didasarkan pada sektor rill yang ada di Depok. Di lain pihak, pemerintah Kota Depok tidak berusaha memberdayakan secara maksimal keberadaan UI dan perguruan tinggi lainnya. Berbagai perguruan tinggi di kota ini hanya dijadikan sebagai latar belakang dalam pembentukan slogan kota “Depok sebagai kota pendidikan”.
Mempertahankan disertasi berjudul “Berkembang Dalam Bayang-Bayang Jakarta: Sejarah Depok 1950-an-1990-an”, Tri menyampaikan penerapan konsep garden city tidak dapat sepenuhnya diimplementasikan di Depok. Pasalnya, untuk menjadi garden city suatu kota dengan jumlah penduduk antara 35.000-60.000 jiwa, sedangkan jumlah penduduk Kota Depok pada tahun 1982 tercatat sekitar 230.000 jiwa. Tidak hanya itu, pertimbangan utama dalam penentuan lokasi kota satelit adalah kota memiliki potensi tersedianya lapangan kerja baru. Sementara itu, Depok tidak mempunyai potensi sumber daya alam mineral yang dapat menyerap tenaga kerja dalam jumlah besar.
Meskipun Depok berada dalam kondisi lamban menjadi pusat pertumbuhan baru yang mandiri, Tri menyebutkan bahwa kota ini telah mengalami transformasi identitas. Dari yang awalnya merupakan warisan citra lama Belanda Depok menjadi Betawi Ora. Transformasi Belanda Depok dengan identitas simbolik kolonial dan Kristen, bergeser menjadi Betawi yang identik dengan Islam (Humas UGM/Ika)