Ketua Program Studi Agama dan Lintas Budaya (CRCS) UGM, Dr. Zainal Abidin Bagir menyebutkan kebebasan beragama di Indonesia masih memiliki banyak tantangan. Meskipun demikian, ia melihat Kementerian Agama memiliki komitmen serius untuk mengelola keragaman agama yang ada.
“Ada optimisme pada pemerintahan sekarang ini. Tidak hanya pada isu kemajemukan agama saja, tetapi dalam berbagai hal,”katanya, Selasa (6/10) di Kantor CRCS UGM menyongong peringatan 15 Tahun Prodi CRCS. Pada peringatan tersebut rencananya akan digelar serangkaian kegiatan seperti kuliah umum, seminar Great Thingker, dan konferensi “Masa Depan Studi Agama” pada 8-9 Oktober 2015.
Menurut Zainal kehidupan kebebasan beragama di Indonesia mengalami kemajuan dibandingkan dengan pemerintahan sebelumnya. Meskipun sejauh ini belum ada kebijakan yang secara jelas dihasilkan, ia melihat ada sinyal-sinyal positif terkait pengelolaan kemajemukan agama di Indonesia.
“Ada isyarat ditunjukan Menteri Agama saat ini yang akan menemui kelompok minoritas dan agama-agama lokal yang masih terdiskriminasi,”terangnya.
Zainal menuturkan secara umum kebebasan beragama di Indonesia meningkat terutama pasca Orde Baru. Indonesia memberikan keleluasaan dan kebebasan beragama bagi para pemeluknya. Namun demikian, kebebasan tersebut justru memunculkan persoalan-persoalan kompleks karena adanya ruang berkespresi yang cukup besar.
“Dulu orang-orang tidak berani bicara, tetapi saat ini banyak yang berani menyampaikan pendapatnya di publik terutama melalui media sosial,”katanya.
Kehadiran media baru tersebut menjadi media alternatif yang kini tengah populer di masyarakat. Keberadaan media sosial ini memberikan ruang kebebasan bagi penggunannya untuk menyampaikan aspirasi maupun informasi yang dimiliki. Sayangnya, dalam beberapa waktu terakhir media ini justru menjadi ruang yang banyak melahirkan perdebatan termasuk isu agama dan cenderung memicu konflik lebih besar.
“Banyak yang memakai media sosial untuk menebarkan ujaran kebencian “hate speech”,”tuturnya.
Zainal menyampaikan bahwa hal ini menjadi tantangan besar bagi pemerintah. Bagaimana supaya bisa menjaga kebebasan berkespresi yang baik dan benar, namun tidak membatasi masyarakat untuk menyampaikan pendapatnya.
“Disatu sisi bagaimana mengurangi penyebaran kebencian tetapi jangan sampai membatasi,”jelasnya.
Pendapat senada disampaikan, Robert Hefner, Indonesianist. Ia melihat bahwa kemunculan media sosial seperti facebook, twitter, dan yang lainnya memberikan dampak yang cukup besar dalam proses penyebaran aspirasi maupun informasi, termasuk isu keagamaan.
Tidak sedikit pihak-pihak memanfaatkan media baru ini untuk menebar kebencian dan mengkotak-kotakan seseorang dalam aliran tertentu yang dianggap sesat. Fenomena tersebut, menurutnya tidak hanya masif terjadi di Indonesia, tetapi secara umum juga terjadi di banyak negara dunia.
“Tidak hanya di Indonesia, di Amerika pun dengan media sosial ini suara kecil dan tidak terdengar bisa menimbulkan dampak luas,”katanya (Humas UGM/Ika)