Obesitas merupakan suatu kondisi penumpukan lemak pada jaringan adiposa yang berpengaruh terhadap kesehatan. Sebagai kondisi berat badan lebih (overweight), World Health Organization (WHO) mendefinisikan sebagai kondisi Body Mass Index (BMI) ≥30 kg/m2, sementara BMI ≥25 kg/m2.
Kondisi obesitas ini seringkali dikaitkan dengan risiko kecacatan yang lebih besar atau kematian dini karena penyakit kronis. Obesitas pun kini telah mewabah ke seluruh dunia dengan prevalensi cukup bervariasi antar negara.
Jumlah penderita obesitas meningkat hampir tiga kali lipat sejak tahun 1975, bahkan dalam tiga dekade terakhir, prevalensi overweight dan obesitas meningkat cepat. WHO menyatakan pada tahun 2016 terdapat 1,9 juta orang dewasa (usia 18 tahun ke atas) menderita overweight dan 650 ribu menderita obesitas, dari 100 persen, yang menderita overweight 39 persen, dan 13 persen di antaranya menderita obesitas.
Angka prevalensi obesitas diperkirakan akan terus meningkat, pada tahun 2030 diperkirakan 20 persen populasi dewasa berpotensi menjadi obesitas. Di Indonesia, berdasarkan hasil Riset kesehatan Dasar (Riskesdas), menunjukkan peningkatan prevalensi obesitas pada penduduk berusia > 18 tahun dari 11,7 persen pada tahun 2010 menjadi 15,4 persen pada 2013.
“Obesitas terjadi sebagai hasil dari asupan makanan yang berlebihan atau aktivitas fisik yang tidak mencukupi. Obesitas dapat dilihat dari segi keseimbangan energi. Bila yang masuk lebih banyak dari yang keluar, dapat menyebabkan obesitas,” ujar dr. Susiana Candrawati, SpKO, di FKKMK UGM, Jumat (18/3) saat menjalani ujian terbuka Program Doktor.
Mempertahankan disertasi Pengaruh Latihan Fisik Model High Intensity Interval Training (HIIT) Terhadap Komposisi Tubuh, Mediator Inflamasi Dan Stres Oksidatif Pada Pasien Obesitas (Kajian Variasi Genetik Uncoupling Protein 2 (UCP 2) -866G/A), dosen Fakultas Kedokteran dan Ilmu-Ilmu Kesehatan, Universitas Jenderal Soedirman, Purwokerto menyebut beberapa faktor lingkungan dapat berpengaruh terhadap obesitas, seperti aktivitas fisik yang kurang dan tingginya asupan energi.
Gaya hidup tidak aktif, menurutnya, sebagai salah satu faktor utama yang terkait dengan obesitas. Gaya hidup tidak aktif adalah gaya hidup yang tingkat aktivitasnya belum memenuhi rekomendasi minimal tingkat aktivitas fisik.
“Rekomendasi WHO menyatakan aktivitas fisik bagi dewasa sekurang kurangnya adalah 150 menit aktivitas fisik aerobik intensitas sedang sepanjang minggu, atau 75 menit aktivitas fisik aerobik intensitas tinggi 4 sepanjang minggu, atau kombinasi setara dari intensitas sedang dan kuat,” katanya.
Banyaknya faktor penghambat aktivitas fisik bagi penderita obesitas menyebabkan munculnya beragam model latihan fisik sebagai alternatif bagi latihan fisik standar yang biasa dilakukan. High Intensity Training (HIT) adalah latihan fisik alternatif yang cukup efektif secara waktu karena dapat dilakukan dalam waktu yang lebih singkat daripada program latihan fisik standar.
Latihan fisik standar yang dilakukan secara continuous melibatkan latihan fisik intensitas rendah hingga sedang sehingga membutuhkan waktu yang cukup lama, sedangkan HIT melibatkan latihan fisik intensitas tinggi sehingga membutuhkan waktu yang lebih singkat. HIT didefinisikan sebagai olahraga yang dilakukan pada intensitas > 65 persen dari kapasitas maksimal.
“Mengutip pendapat Martin-Smith, menyebut studi terbaru menunjukkan bahwa HIIT efektif untuk menurunkan berat badan, dan meningkatkan kebugaran kardiopulmoner, serta meningkatkan sensitivitas insulin. High Intensity Interval Training terbukti menghasilkan Excess Post Exercise Oxygen Consumption (EPOC) lebih besar daripada continuous training,” sebutnya.
Selain faktor lingkungan seperti latihan fisik, Susiana mengakui tidak dapat mengabaikan faktor genetik dalam obesitas. Salah satunya adalah gen uncoupling protein 2 (UCP2) -866G/A.
Karenanya, parameter obesitas dapat dilihat dari komposisi tubuh, mediator inflamasi dan stres oksidatif. Untuk itu, sebagai peneliti ia pun tertarik untuk melihat pengaruh latihan fisik yang berupa CT dan HIIT terhadap parameter obesitas.
“Penelitian ini merupakan penelitian Randomized Controlled Trial. Populasi penelitian adalah wanita obesitas, sedang subjek penelitian yang memenuhi kriteria subjek dikelompokkan menjadi dua kelompok yaitu kelompok latihan fisik CT dan HIIT dengan metode stratified randomization,” terangnya.
Dalam penelitiannya intervensi latihan fisik dilaksanakan selama 14 minggu, yang terdiri dari 2 minggu adaptasi latihan fisik dan 12 minggu intervensi latihan fisik. Sedangkan variabel komposisi tubuh, mediator inflamasi dan stres oksidatif diperiksa sebelum dan sesudah intervensi latihan fisik.Selain itu, variasi genetik UCP2 -866G/A subjek juga diperiksa.
Analisis data menggunakan uji T berpasangan dengan uji alternatif Wilcoxon Signed Rank, uji T tidak berpasangan dengan uji alternatif Mann Whitney, uji One Way Anova dengan uji alternatif Kruskal Wallis dan uji Repeated Anova yang dilanjutkan dengan uji Paired Wise Comparison, dan tingkat kemaknaan pada p<0,05.
Hasil penelitian menyimpulkan terdapat perbaikan variabel penelitian (komposisi tubuh, mediator inflamasi dan stres oksidatif) setelah intervensi latihan fisik Continuous Training pada pasien obesitas. Penurunan Berat Badan terjadi pada minggu ke 3 intervensi latihan fisik Continuous Training, dan penurunan Indeks Massa Tubuh dan Lingkar Pinggang terjadi pada minggu ke 3 intervensi latihan fisik Continuous Training. Penurunan Persen Lemak Tubuh terjadi pada minggu ke 7 intervensi latihan fisik Continuous Training.
“Penurunan WHR terjadi pada minggu ke 11 intervensi latihan fisik intervensi latihan fisik Continuous Training,” jelasnya.
Penelitian pun menyimpulkan terdapat pengaruh variasi genetik UCP2 -866G/A terhadap penurunan berat badan dan IMT pada intervensi latihan fisik. Genotip GG memiliki respon perubahan berat badan dan IMT yang paling rendah terhadap intervensi latihan fisik, sehingga beresiko lebih tinggi menderita obesitas dibandingkan varian genotip lainnya.
Penulis : Agung Nugroho
Foto : Wolipop-Detikcom