Miopia atau rabun jauh menjadi alasan seseorang datang untuk berobat ke fasilitas kesehatan mata. Sebagian besar penyandang sejak usia pra sekolah yang membutuhkan pertambahan derajat koreksi kacamatanya secara berkala. Gangguan penglihatan akibat miopia akan semakin dirasakan apabila derajat miopianya telah mencapai lebih dari 6 dioptri. Laporan bersama WHO Brian Holden Vision Institute di tahun 2015, miopia tak terkoreksi merupakan penyebab utama gangguan penglihatan yang memengaruhi 1,89 miliar orang di seluruh dunia dan diproyeksikan akan menjadi hampir dua kali lipat pada tahun 2020.
Mahasiswa Program Doktor dan Ilmu Kesehatan, Dr. Vidyapati Mangunkusumo, Sp.M (K)., pada ujian terbuka promosi doktor di Fakultas Kedokteran, Kesehatan Masyarakat dan Keperawatan (FKKMK), Rabu (16/3) menyampaikan hasil penelitian disertasinya soal peran Capsular Tension Ring (CTR) pada populasi miopia tinggi yang menjalani Fakoemulsifikasi. Seperti diketahui bedah fakoemulsifikasi telah berkembang menjadi prosedur bedah refraktif mata yang mengutamakan presisi prediksi hasil refraksi. Namun begitu, tantangan prosedur fakoemulsifikasi pada penyandang katarak dengan mopia tinggi adalah instabilitas area zonula yang disebabkan oleh mencairnya badan vitreus. “Implantasi Capsular Bag Tension Ring kedalam kantong lensa pada saat operasi fakoemulsifikasi merupakan upaya untuk mengatasi instabilitas tersebut,” katanya.
Untuk menilai efektifitas CTR dalam kantong lensa, dilakukan implantasi dua jenis CTR yang berbeda diameternya kemudian dinilai perbedaan kinerja masing-masing CTR serta kemungkinan jangka panjang. Penelitian yang dilakukannya dengan melakukan uji klinis prospektif dengan jumlah sampel 26 mata untuk kelompok CTR 1311 dan 25 mata untuk kelompok CTR 1210. Selanjutnya data dibandingkan antar kelompok berupa nilai spherical equivalent (SE), mean absolute error, selisih perhitungan gaya pegas CTR, prediksi diameter kantong kapsul lensa, kedalaman bilik mata depan (BMD) dan simetri sudut iridokorneal pasca operasi.
Dari hasil penelitiannya diketahui kedua jenis CTR mampu menghasilkan dan mempertahankan spherical equivalent yang sama pada 1 bulan dan 3 bulan pasca operasi. Namun, pada 3 bulan pasca operasi ditemukan tidak ada perbedaan yang bermakna tetap mampu mencapai diameter kantong kapsul lensa yang sama dengan CTR 1311 karena gaya pegas kedua kelompok CTR melewati ambang gaya kontraksi kapsul lensa di ekuator.
Selanjutnya efisiensi kinerja gaya pegas CTR 1311 lebih stabil dalam hal distribusi gaya di dalam kantong kapsul lensa namun, CTR 1210 mampu menghasilkan luaran sudut iridokorneal pasca operasi yang lebih besar pada mata kanan sudut nasal dan temporal dan mata kiri sudut nasal dan temporal.
Ia menyimpulkan bahwa kedua CTR memiliki kemampuan yang sama untuk mencapai optimalisasi penglihatan dikarenakan adanya efisiensi kinerja CTR 1311 untuk menjaga kestabilan area zonula lebih baik dari CTR 1210, namun CTR 1210 memiliki keamanan yang lebih baik dari CTR 1311.
Penulis : Gusti Grehenson