Filsafat Perennial sangat populer di kalangan banyak intelektual, terutama yang peduli terhadap studi agama-agama dan filsafat. Begitu banyak kontribusi pemikiran para ahli tentang filsafat Perennial ini, salah satunya Smith. Menurut Smith terdapat distingsi paradigma dua tradisi filsafat yang sangat kontras, yaitu filsafat modern dan tradisional.
“Latar belakang gagasan Smith tentang filsafat Perennial diawali dengan kekhawatiran dan keprihatinannya terhadap kondisi manusia modern yang sulit menerima keragaman dalam berbagai bentuk tradisi,” papar Riki Saputra dalam ujian terbuka Program Doktor, Program Studi Ilmu Filsafat, Fakultas Filsafat, Jumat (4/9) di Auditorium Fakultas Filsafat UGM.
Menurut Riki, manusia modern masih terpengaruh dengan perbedaan-perbedaan tersebut, sehingga kata kesepakatan tidak mudah untuk dimusyawarahkan. Ada tiga pokok kajian dalam filsafat Perennial-Smith, yaitu metafisika yang berusaha menemukan adanya dasar imanen dan transenden dari segala sesuatu, psikologi yang menggali sesuatu yang sama dalam diri manusia, serta etika yang membuat tujuan akhir manusia.
“Filsafat Perennial sangat dekat dengan tradisi dan mata rantai tradisional, serta termasuk dalam realisasi spiritual,” imbuh dosen di Universitas Muhammadiyah Sumatera Barat ini.
Dalam disertasinya berjudul “Krisis Spiritual Manusia Modern dalam Perspektif Filsafat Perennial Huston Smith”, Riki melihat konsep Perennial Smith sangat tepat dijadikan rujukan bagi penganut agama di Indonesia, yang selama ini banyak terjebak dalam kerangka teologis agama yang kaku. Pendekatan yang dilakukan Riki tidak terkungkung dalam konteks formal, eksoteris atau simbolis dengan agama lain yang sulit dipertemukan, melainkan mengupas substansi atau esoteris agama bagi kehidupan manusia.
“Pada titik ini, sesungguhnya agama menjadi media, dan instrument bagi manusia untuk menggapai kehidupan yang luhur,” katanya.
Di akhir disertasi Riki menegaskan bahwa filsafat Perennial sebagai sebuah keilmuan hanya terbatas pada penawaran-penawaran alternatif dalam menangkap pesan Tuhan yang bersifat relatif. Kebenaran mutlaknya milik sang Ilahi yang sulit ditangkap manusia selama berada dalam kehidupan fana ini. (Humas UGM/Satria)