Mycobacterium Tuberculosis (TB) masih menjadi salah satu masalahan kesehatan yang harus dihadapi masyarakat dunia. Setiap tahunnya, TB menyebabkan hampir dua juta kematian dan diperkirakan saat ini sekitar sepertiga penduduk dunia telah terinfeksi kuman TB yang mungkin akan berkembang menjadi TB di masa datang.
Selain jumlah kematian dan infeksi TB yang sangat besar, pertambahan kasus TB pun sangat signifikan yang mencapai 9 juta kasus baru setiap tahunnya. Bila tidak dikendalikan maka dalam 20 tahun mendatang TB akan membunuh 35 juta orang.
Di Indonesia, beban TB masih sangat tinggi. TB di Indonesia merupakan pembunuh nomor satu diantara penyakit menular lainnya, dan nomor 3 dalam daftar 10 penyebab kematian utama di Indonesia setelah jantung, pembuluh darah dan penyakit pernafasan akut.
“Karena itu, di awal tahun 1990 WHO dan IUATLD telah mengembangkan strategi penanggulangan TB yang dikenal dengan strategi DOTS”, ujar Ratih Sari Wardani, S.Si., M.Kes, di ruang senat FK UGM, Senin sore (31/8) saat melaksanakan ujian terbuka Program S3.
Menurut Ratih, keterbatasan pemerintah dan besarnya tantangan TB saat ini diperlukan peran aktif dan semangat kemitraan dari semua pihak terkait. Dengan begitu maka diharapkan penanggulangan TB dapat ditingkatkan, diantaranya melalui gerakan terpadu yang bersifat nasional yang dikenal dengan istilah Gerdunas TB.
“Sampai saat ini fasilitas layanan kesehatan (Fasyankes) yang terlibat strategi DOTS adalah Puskesmas sekitar 98 persen, meski begitu baru 38 persen rumah sakit, pemerintah, BUMN, TNI, Polri dan swasta yang telah menerapkan pelayanan dengan strategi DOTS”, tutur Ratih, dosen Universitas Muhammadiyah Semarang.
Mempertahankan desertasi “Klasifikasi Mikroskopis Tuberkulosis Paru Berdasarkan Gejala-Gejala Klinis Pasien Rumah Sakit”, Ratih Sari menyatakan penanganan TB seharusnya sesuai dengan pedoman nasional dan ISTC. Meski begitu, dalam praktik sebagian dokter tidak mengikutinya, namun lebih cenderung menggunakan pengalaman dan pengetahuan semasa pendidikan.
“Penegakan diagnosis penyakit didasarkan pada pengalaman dan opini seseorang daripada menggunakan pola data yang tersembunyi dalam database yang tersimpan di rumah sakit. Pendekatan ini mengakibatkan kesalahan dan meningkatnya biaya kesehatan yang berdampak pada kualitas pelayanan pasien”, tandasnya. (Humas UGM/ Agung)