Dalam beberapa tahun terakhir pembangunan hotel dan mall kian marak di Yogyakarta. Kondisi tersebut tidak hanya semakin menekan masyarakat kecil, tetapi juga menimbulkan berbagai persoalan lingkungan. Dadok Putera Bangsa, aktivis gerakan Jogja Asat menyampaikan munculnya puluhan hotel maupun mall di Yogyakarta lebih banyak menimbulkan dampak negatif bagi masyarakat. Seperti yang dialami warga di kampung tempat tinggalnya yaitu Miliran yang terdampak akibat pendirian Fave Hotel. Sumur-sumur warga mengalami kekeringan sejak munculnya hotel tersebut. “Kami jadi korban dari pembangunan Fave Hotel, sejak beroperasi 2012 silam sumur warga jadi kering. Padahal sejak saya hidup disini dari kecil sumur tidak pernah kering meski musim kemarau,” ungkapnya, Rabu (22/4) dalam diskusi publik bertajuk “Yogya Sould Out” di FISIPOL UGM.
Menyikapi hal tersebut, ia bersama para melakukan protes ke manajemen hotel hanya saja tidak mendapatkan respon yang jelas. Juga menyambangi pemerintah kota Yogyakarta untuk melakukan pengawasan penggunaan sumur dalam hotel yang ada. “Ironisnya pemerintah kota melalui BLH malah berargumen membenarkan operasional hotel karena dinilai sudah tepat mengambil sumber air dalam yang tidak akan menggganggu sumber air dangkal masyarakat. Sementara jelas-jelas sumur warga terdampak menjadi kering,” ucapnya menyayangkan.
Karenanya, ia mengajak kepada seluruh masayarakat dan juga kaum muda untuk bersama-sama memperjuangkan kepentingan rakyat yang telah kehilangan kebutuhan dasar yakni air. Salah satunya dengan melakukan riset terkait amdal pembangunan hotel dan mall di Yogyakarta. “Saya takut Jogja nantinya benar-benar jadi kering. Jadi ayo siapa yang mau membantu melakukan riset amdal dan IMB mal dan hotel di kota Jogja,” ajaknya.
Aktivis lingkungan, RM. Aji Kusumo menilai bahwa pembangunan hotel maupun mall tidak banyak memberikan nilai positif bagai masyarakat sekitar. Namun sebaliknya, justru lebih banyak memunculkan dampak negatif yang tidak memberikan keuntungan bagi warga. “Pembangunan hotel dan mall dengan modal investor tidak menguntungkan warga karena keuntungan hanya masuk ke kantong mereka sendiri,”ujarnya.
Meskipun merugikan masyarakat, kata dia, kebanyakan usaha pembangunan bangunan-bangunan komersil tersebut tetap berjalan karena adanya dukungan dari aparat kepolisian. Bahkan tidak jarang mendapat dukungan ilmiah dari kalangan akademisi yang luput dari fokus pembangunan yang berkeadilan.”Sekarang ini pengusaha, negara, dan kaum intelektual bekerjasama menyengsarakan rakyat,” tutur Aji yang sempat ditahan selama 3,5 bulan karena melakukan perusakan terkait aksi protes terhadap pembangunan apartemen Uttara The Icon di Jalan Kaliurang,Karangwuni, Caturtunggal, Depok, Sleman.
Sementara Francis Wahono, Direktur Center for Integrated Development and Rural Studies menilai maraknya pembangunan hotel dan mall telah merusak keistimewaan Yogyakarta. Pasalnya dengan hadirnya bangunan-bangunan itu menggusur warga kampung menyebabkan kerusakan lingkungan sekitarnya. “Mall-mall dan superblock menjadi tontonan tak elok di tengah rakyat yang setia mengawal keistimewaan penguasa,” katanya.
Dalam pandangannya, tidak ada hal yang khas lagi di Yogyakarta.Sebut saja, citra rakyat yang ramah semakin pudar seiring dengan sering meletusnya konflik bernuansa sara. Lalu cara berjualan yang tidak jujur “nuthuk harga” yang semakin banyak dipraktekan di berbagai kawasan objek wisata dan sejumlah hal lainnya. “Kalau dulu warung-warung kampung dan dusun hidup, sekarang sepi digilas super market. kalau dulu tanpa polisi saka orang tidak saling mendahului, kini seolah berebut jalan tak berbeda dengan di kota besar seperti Jakarta. Jadi apa yang istimewa?” ujarnya.
Menurutnya, kondisi Yogyakarta akan berjalan secara harmonis dan lestari apabila jagad pakeliran geo ekologis dijadikan sebagai acuan pertumbuhan, penghidupan, dan pembangunan Yogyakarta. Karena ciri khas yang istimewa dari Yogyakarta tidak hanya terletak pada bentuk pemerintahan dan penguasa tanahnya, tetapi justru dari geo-ekologis yang ditopang oleh inisiatif rakyatnya. “Hanya dengan itu “Jogja Sold Out” tidak terjadi,” terangnya.(Humas UGM/Ika)