YOGYAKARTA – Partisipasi wanita dalam jumlah angkatan kerja perlu ditingkatkan dengan cara meningkatkan akses pendidikan mereka di semua jenjang serta didukung pengakuan dan penghargaan atas hak mereka bekerja di sektor formal maupun informal. Seperti diketahui, jumlah wanita pekerja di Indonesia saat ini baru mencapai 54,44 persen dari total angkatan kerja wanita. Berbeda dengan pria dimana tingkat partisipasinya mencapai 84,66 persen. Meski demikian dari 10 sektor pekerjaan yang digeluti wanita dan pria, ada dua bidang pekerjaan yang menjadikan upah wanita lebih tinggi dibanding pria yakni bidang komunikasi dan pelayanan transportasi.
Pernyataan itu disampaikan Dosen Fakultas Ekonomika dan Bisnis (FEB) UGM Endang Sih Prati MA., dalam diskusi economics talk yang bertajuk wanita dan kemiskinan, di auditorium Djarum Gedung Pertamina Tower FEB UGM senin (20/4). Diskusi yang diselenggarakan dalam rangka memperingati hari Kartini yang jatuh setiap 21 April menghadirkan Direktur Wahid Institute Yenny Wahid sebagai pembicara.
Meski partisipasi kerja wanita mengalami peningkatan dari tahun ke tahun, kata ending namun jumlah wanita yang tidak bekerja dinilai jauh lebih banyak. “Dari total seluruh angkatan kerja wanita, ada 45,56 persen wanita yang tidak bekerja,” katanya.
Menurut Endang, harus banyak wanita berpartisipasi dalam sektor angkatan kerja. Dengan bekerja, wanita bisa meningkatkan taraf hidup ekonomi dirinya dan keluarga bahkan mendorong kemajuan ekonomi bangsa. Dia juga menyarankan agar wanita Indonesia tidak kehilangan kebanggan pada dirinya, apalagi sampai kehilangan kebebasan bersikap.
Endang sependapat dengan pendapat RA Kartini dan Amartya Sen. Untuk meningkatkan kesetaraan hak wanita atas konstruksi sosial di masyarakat, wanita diminta terus meningkatkan pendidikannya. Adapun peraih nobel ekonomi Amartya Sen menegaskan perlunya meningkatkan hak kebebasan wanita. “Di negara tertentu, kebebasan adalah barang mewah bagi mereka tidak memiliki kebebasan,” katanya.
Direktur Wahid Institute, Yenny Zannuba Wahid, MPA., mengatakan ada lima kodrat wanita, yakni menstruasi, hamil, melahirkan, menyusui dan menopause. “Yang lainnya sama dengan laki-laki,” katanya.
Menurutnya penghormatan atas hak wanita harus dimulai dari dalam keluarga. Bagi Yenny, figur seorang ayah atau suami yang selalu menghormati dan menghargai istri dan anak perempuannya akan ditiru oleh anak perempuannya kelak. “Ketika anak perempuan dihormati oleh bapaknya maka ia akan tumbuh meminta hak yang sama dengan suaminya,” katanya.
Yenni bercerita tentang sang ayah, Abdurrahman Wahid atau biasa disapa Gusdur, terbiasa menggantikan pekerjaan istrinya di saat anak-anaknya masih balita menangis di saat tengah malam. Bahkan Gusdur yang membuatkan susu dan menggantikan popok anak-anaknya. “Kata ibu, saat anaknya nangis beliau langsung yang ambil bayinya, beri susu. Saya juga sering lihat Bapak cuci piring sendiri,” kenangnya. (Humas UGM/Gusti Grehenson)