Sebagai salah satu masalah kesehatan, malaria menjadi penyebab kematian utama pada bayi, anak balita, dan ibu hamil. Lebih dari 90 negara dengan populasi penderita 40 persen penduduk dunia menderita penyakit ini. Bahkan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) pada Desember 2013 mencatat terdapat 207 juta kasus malaria di tahun 2012 dengan kasus kematian sebanyak 627 ribu yang di dominasi anak-anak. Sementara di Indonesia sebanyak 424 dari 579 kabupaten/ kota menjadi daerah endemik malaria, dengan persentase penduduk beresiko tertular sebesar 42,42 persen.
Iis Hamsir Ayub Wahab, S.T., M.T, dosen Universitas Khairun, Ternate mengatakan hingga kini pemeriksaan standar untuk diagnosis malaria aktif masih menggunakan alat mikroskopis. Meski memiliki kepekaan yang baik dan dapat mengidentifikasi jenis parasit dan pengaruhnya, namun pemeriksaan secara mikroskopis mengharuskan adanya tenaga ahli mikroskopik terlatih dan memakan waktu yang relatif lama. Di sisi lain, situasi serta kondisi sebagian besar laboratorium untuk daerah terpencil di Indonesia hingga kini belum memadai. Hal ini tentu berimbas pada reliabilitas hasil pemeriksaan yang masih rendah.
Karena itu, menurutnya, diagnosis yang cepat bagi penderita yang diduga mengidap malaria menjadi tantangan guna mendapatkan uji/metode laboratorik yang tepat, cepat, sensitif dan mudah dilakukan. Yaitu diagnosis tepat terkait akurasi data untuk menentukan pengobatan dan penatalaksanaan yang tepat dan benar, evaluasi pengobatan dan resistensi antimalaria sangat diperlukan.
“Karena itu, agar analisis dapat dilakukan dengan mudah oleh tenaga paramesdis non-dokter, maka diperlukan sistim analisis dan interpretasi malaria berbasis komputer,” katanya di KPTU Fakultas Teknik UGM, Selasa sore (31/3) pada ujian terbuka program untuk memperoleh gelar doktor Bidang Teknik Elektro dengan mempertahankan desertasi Deteksi Parasit Malaria Dalam Sampel Darah untuk Menunjang Keperluan Diagnosis Berbasis Data Ciri Tekstur Warna.
Menurut Hamsir Ayub, sistim pendeteksi parasit malaria berbasiskan komputer ini pada umumnya dibangun melalui beberapa tahap pemrosesan, yaitu akuisisi citra, pra-pengolahan citra, ekstraksi ciri, dan klasifikasi. Bahwa untuk keperluan itu, perlu dilakukan digitalisasi sampel citra preparat darah pasien yang selanjutnya data citra digital tersebut disiapkan untuk proses berikutnya berupa proses pra-pengolahan citra.
Hasil proses ini, citra dalam bentuk data digital siap untuk dianalisis dan diinterprestasikan dengan bantuan komputer dengan menggunakan teknik pengolahan citra dan pengenalan pola. Proses-proses yang dilakukan tersebut tentu memerlukan suatu algoritme penyelesaian sehingga sistim yang dibangun memiliki tingkat kehandalan yang baik.
“Pada spesifikasi perangkat keras komputer yang sama, hal yang paling berpengaruh terhadap waktu proses adalah banyaknya perangkat lunak atau program yang aktif secara bersamaan pada saat pengujian”, paparnya.
Oleh karena itu, kebenaran suatu algoritme harus diuji dengan jumlah masukan tertentu untuk melihat kinerja algoritma. Sementara evaluasi yang dilakukan adalah dengan menggunakan kompleksitas algoritma. (Humas UGM/ Agung)