![](https://ugm.ac.id/wp-content/uploads/2015/03/1603151426498426816971555.jpg)
Reformasi politik telah mendorong berkembangnya pembuatan film independen di Indonesia dan Malaysia. Beragam persoalan pluralisme etnis dan keagamaan menjadi tema-tema yang kerap diangkat para sineas muda di kedua negara. Berbeda dengan masa sebelumnya, di bawah rezim politik yang otoritarian ruang publik termasuk sinema dikooptasi oleh negara dan produksi film dimonopoli golongan tertentu.
Budi Irawanto, S.IP., M.A., pakar perfilman UGM menyebutkan bahwa sinema kontemporer di Indonesia dan Malaysia merupakan wadah dalam upaya mengimajinasikan tatanan masyarakat yang adil, etnis, dan setara di tengah kemelut dan perpecahan di masyarakat. Pada saat yang sama, sinema menjadi hal yang tidak bergantung pada bekerjanya sistem demokrasi perwalian atau intitusi politik formal, melainkan pada penataan ulang sensibilitas terhadap struktur ketidaksetaraan dan dan ketidakadilan. “Lebih dari sekedar merepresentasikan gejolak politik, sinema telah menjelma menjadi “politik baru” yang difasilitasi oleh perkembangan teknologi digital yang telah mendemokratisasi pembuatan film di Indonesia maupun Malaysia,” jelasnya, Senin sore (23/3) saat menyampaikan paparan “Ketika Politik Menjadi Sinematik: Politik Kultural Sinema Kontemoprer di Indonesia dan Malaysia” dalam Forum Umar Yayam di PKKH UGM.
Budi menuturkan para sineas muda di kedua negara berupaya menciptakan sensibilitas baru melalui film dengan mengangkat fenomena dan segala persoalan masyarakat marjinal yang selama ini disingkirkan dalam tatanan dominan masyarakat. Lewat sinema, minoritas etnis, agama, dan seksual yang selama ini tidak terlihat maupun tidak terdengar muncul dalam imaji sinematik dan mentransgresi tatanan yang selama ini ditopang oleh kelompok dominan serta menciptakan fantasi menuju emanispasi politik. “Karenanya di tengah lanskap kontemporer di Indonesia dan Malaysia yang semakin dikepung kultur visual, realitas sosial kian ditakar dengan imaji sinematik dan di saat yang sama sinema menjadi kekuatan yang membentuk imajinasi sosial,” terang dosen Jurusan Ilmu Komunikasi FISIPOL UGM ini.
Sejumlah film yang menghadirkan relasi antar etnis dan antarpemeluk agama yang kompleks mulai bermunculan di tanah air. Sebut saja Hanung Bramantyo yang mengangkat krisis pluralisme dan intoleransi di Indonesia lewat filmnya berjudul “?”(2011). Film dengan tema serupa, namun dibingkai dalam narasi melodramatis ditemukan pada Cin(T)a (2010) garapan Samaria Simanjuntak dan 3 Hati, Dua Dunia, Satu Cinta (2010) karya Benni Setiawan. Sementara di Malaysia, almarhumah Yasim Ahmad mengangkat realasi lintas etnis dan agama dalam sejumlah filmnya seperti Sepet (2004), Gubra (2006), dan Muallaf (2009). Meskipun telah dinyatakan lulus sensor film besutan Yasmin dan Hanung tersebut menyulut kontroversi dari kelompok konservatif atau militan. Kelompok konservatif malaysia mendakwa Yasmin sebagai pencemar budaya Melayu, sedangkan kelompok militan menuduh Hanung telah mempraktikan toleransi yang kebablasan. “Kasus ini tidak hanya mengisyaratkan munculnya agensi baru dalam praktik sensor di Indoensia, tetapi juga berkuasanya rezim visualitas yang menentukan batas-batas apa yang boleh dan yang dilarang,”ujarnya.
Lebih lanjut Budi menyampaikan selain persoalan minoritas etnis dan agama, permasalahan kaum transkesual atau waria juga banyak diangkat oleh sutradara muda Indonesia dan Malaysia ke dalam bentuk film. Beberapa diantaranya film Lovely Man (2011) karya Teddy Soeriatmadja dan Peach Lobang (2008) yang disutradarai Poh Si Teng. Dalam kedua film tersebut kaum waria tidak direpresentasikan secara stereotipikal, melainkan hadir dalam segala problematikanya, termasuk perlakuan diskriminatif.
Sementara itu, kata dia, potret wilayah perairan pinggiran yang terabaikan dalam kebijakan pembangunan Indonesia dimunculkan dalam film Jermal (2009) yang disutradarai Ravi Bharwani dan Mirror Never Lies (2011) karya Kamila Andini. Sedangkan di Malaysia, gambaran wilayah pinggiran terutama Kelantan mengemuka dalam film seperti Wayang (2008) karya Hatta Azad Khan, Bunohan (2011) yang disutradarai Dain Said, serta Wayang Rindukan Bayang (2012) besutan Khoo Eng Yow.
Permasalahan spasial khususnya lanskap etnis, lanjutnya, dapat dilihat dalam film Chemman Chalaai (2004) dan Chalanggi karya sutradara Deepak Kumaran Menon. Dalam Chalanggi lokasi yang diambil di kawasan Little India di Brickfields, membuka ruang pertemuan antaretnis minoritas yakni Cina dan India daripada sebagai landskap etnis eksklusif. Demikan halnya lanskap etnis Tionghoa di Indonesia ditampilkan dalam filn CINtA (2010) karya Steven Facius Winata yang banyak membuka ruang bagi relasi antarentis dan agama yang direpresentasikan dalam relasi antara Siti seorang muslim Betawi dan ASu yang merupakan orang Tionghoa penganut Khonghucu. “Meski relasi antar keduanya tidak berakhir bahagia, tetapi sebuah ruang imajiner bagi relasi trans-etnis telah dibuka oleh sinema,” katanya. (Humas UGM/Ika)