YOGYAKARTA – Mantan Ketua Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) Prof. Dr. Anwar Nasution mengkritisi kinerja menteri bidang ekonomi dalam mensikapi persoalan ekonomi Indonesia saat ini. Meski menurut Anwar, Presiden Jokowi memiliki cara pandang yang bagus dalam mendorong kemajuan ekonomi namun kurang didukung dari kapasitas menteri yang betul-betul ahli di bidang ekonomi. “Di pemerintahan sekarang, tidak ada yang ahli memahami ekonomi dan pergerakan keuangan global,” kata Anwar Nasution dalam diskusi Eminent Person Talk the Walk “The Sum is Greater than the Parts” yang membahas tentang persoalan ekonomi Indonesia di Gedung Pertamina Tower Fakultas Ekonomika dan Bisnis (FEB) UGM, Jumat (20/3).
Anwar menyampaikan diperlukannya penguasaan persoalan ekonomi makro Indonesia dan persoalan ekonomi dunia. “Masalah ekonomi terletak pengendalian kurs mata uang, namun harus juga ditopang daya saing dalam perdagangan global,” ungkapnya.
Selain memaparkan berbagai persoalan ekonomi, Anwar juga memberikan solusi agar ekonomi Indonesia bisa tumbuh dan maju seperti yang dilakukan oleh China, Singapura, Malaysia dan Thailand. Dikatakan Anwar salah satu kebijakan yang perlu diambil oleh Jokowi adalah meningkatkan rasio penerimaan pajak yang hingga saat ini tingkat rasio penerimaan pajak Indonesia terendah di Asia Tenggara. “Hampir 70 tahun tax ratio kita hanya 12 % dari PDB,” katanya.
Sehubungan meningkatkan ekspor dan daya saing pengusaha di tingkat perdagangan global, Anwar mengusulkan agar pemerintah meniru langkah kebijakan Korea yang dilakukan di era tahun 80an dengan menciptakan iklim usaha yang kompetitif dengan menurunkan tingkat suku bunga kredit agar menjadi lebih rendah, memberikan akses ke valuta asing serta memberikan keringanan pajak agar bisa menumbuhkan produk industri manufaktur yang berorientasi ekspor. “Malaysia itu dulunya mengandalkan karet dan timah, sekarang Malaysia 70 persen ekspor mereka dalam bentuk manufaktur,” katanya.
Selain itu, kata Anwar, Jokowi juga harus mempercepat pembangunan infrastruktur untuk menghubungkan konektivitas antarpulau dan mengurangi pungli dalam pengiriman logistik antar daerah karena menyebabkan produk dalam negeri tidak bisa bersaing karena harga menjadi mahal. “Produktivitas kita tidak bisa ditingkatkan karena banyak distorsi akibat aturan pemda. Sudah jalan di daerah sempit, waktu pengiriman jadi panjang, belum lagi pungli di sepanjang jalan,” katanya.
Ekonom Universitas Gadjah Mada, Edhie Purnawan, SE, MA, PhD, mengatakan persoalan fragmentasi ekonomi yang dihadapi Indonesia sekarang ini menyebabkan Indonesia berisiko terperangkap dalam jebakan negara berpenghasilan menengah atau sering dikenal dengan istilah Middle Income Trap. “Selama ini hanya dua negara yang bisa keluar dari jebakan itu, Jepang dan Korea,” pungkasnya. (Humas UGM/Gusti Grehenson)