Ahli Gizi UGM, Dr. Mirza Hapsari Sakti Titis Penggalih, S.Gz., M.P.H., RD., menyebutkan sarapan masih belum menjadi kebiasaan di Indonesia, khususnya di kalangan anak-anak.
“Hampir separuh anak-anak di Indonesia belum menjadikan sarapan sebagai suatu kebiasaan dengan berbagai alasan seperti keburu berangkat sekolah atau tidak sempat menyiapkan sarapan karena ibunya keburu berangkat kerja,” tuturnya, Sabtu (19/2).
Data Survei Diet Total (SDT) Badan Litbangkes Kementerian Kesehatan RI tahun 2020 menunjukkan dari 25.000 anak usia 6-12 tahun di 34 provinsi terdapat 47,7 persen anak belum memenuhi kebutuhan energi minimal saat sarapan. Bahkan, 66,8 persen anak sarapan dengan kualitas gizi rendah atau belum terpenuhi kebutuhan gizinya terutama asupan vitamin dan mineral.
Ia menjelaskan anak usia sekolah membutuhkan 1.550 kalori per hari mulai dari karbohidrat, protein, lemak, vitamin serta mineral. Sementara itu, kebutuhan kalori saat sarapan tidaklah besar sekitar 300 kalori. Namun, sebagian besar anak Indonesia gagal memenuhi kebutuhan kalori saat sarapan karena asupan gizi yang tidak seimbang.
Apabila kebutuhan kalori saat sarapan tidak terpenuhi akan berdampak pada fungsi otak dalam memori pelajaran di sekolah. Anak yang tidak memiliki kebiasaan sarapan akan kurang bisa berkonsentrasi saat belajar arena otaknya tidak mendapatkan cukup energi. Selain itu, memengaruhi pertumbuhan dan status gizi anak.
Oleh sebab itu, Mirza menekankan edukasi sarapan menjadi penting. Penyediaan sarapan bagi anak dilakukan dengan menganut gizi seimbang.
“Pilih yang mudah disiapkan, namun tetap memenuhi prinsip gizi seimbang. Contoh menu sederhana seperti nasi atau roti ditambah telor, buah dan susu ini sudah cukup memenuhi kebutuhan kalori,” terangnya.
Penulis: Ika