![](https://ugm.ac.id/wp-content/uploads/2015/02/24021514247683562104195109-686x510.jpg)
Kanker payudara merupakan kanker yang sering dijumpai pada wanita dengan insidensi yang terus meningkat di berbagai negara. Bahkan kanker payudara menjadi penyebab kematian terbanyak pada wanita.
Kepala Instalasi Sterilisasi (CSSD) Rumah Sakit Kanker Darmais (RSKD), Dr.Dra. Agusdini Banun Saptaningsih, Apt.MARS., mengatakan kemoterapi merupakan salah satu cara yang sering digunakan dalam pengobatan kanker payudara. Di berbagai rumah sakit termasuk RSKD sebagian besar pengobatan menggunakan protokol kemoterapi Fluorouuracil-Adriamicyn-Cyclo-phos-phamid (FAC) dan Taxane. Melalui kemoterapi adjuvan ini dapat mengurangi kemungkinan rekurensi dan kematian, bahkan dapat meningkatkan kualitas hidup pasien hingga 15 tahun.
“Keefektifan kedua terapi ini hanya diukur dari hasil keluaran fisik seperti sembuh dari penyakit, kematian, angka kesakitan dan angka munculnya kembali penyakit. Sedangkan kualitas hidup belum diperhatikan,” katanya saat ujian terbuka program doktor, Selasa (24/2) di Fakultas Kedokteran UGM. Dalam kesempatan itu ia mempertahankan disertasi berjudul “Model Indonesia Breast Cancer Healt Related Quality of Life untuk Pengukuran Kualitas Hidup dan Cost Utility Analysis Penderita Kanker Payudara Operable di RS Kanker Dharmais”.
Meskipun teknik pengukuran kualitas hidup terkait penyakit kanker payudara sudah banyak berkembang di negara-negara maju, namun cara tersebut belum mampu mengakomodasi budaya Indonesia. Karenanya Banun berupaya mengembangkan model pengukuran kualitas hidup penderita kanker payudara Indonesia yang disebut Indonesian Breast Cancer Helath Related Quality of Life (INA-BCHRQoL). Model tersebut diaplikasikan pada cost utility analysis penderita kanker payudara operable yang mendapat kemoterapi FAC dan kemoterapi berbasis Taxan.
Dari penelitian terhadap pasien kanker di RSKD diketahui bahwa skor kualitas hidup pasien dengan kemoterapi FAC lebih besar dari pada yang mendapatkan kemoterapi bernasis Taxan pada empat kali pengukuran yaitu sebelum operasi, sesudah operasi atau sebelum kemoterapi, sesudah kemoterapi, dan sesudah radiasi. Namun, kata Banun, hasil ini tidak menunjukkan perbedaan yang bermakna diduga karena penggunaan jumlah sampel yang kecil. Meskipun demikian, dalam penelitian yang pernah dilakukan Batnai, et al (2012) pada penderita kanker payudara stadium awal di Iran dengan jumlah sampel memadai, menunjukkan perbedaan yang signifikan yakni utility penderita dengan FAC lebih tinggi dibanding penderita Taxan.
Sementara dari hasil hitungan cost utility analysis menunjukkan bahwa biaya pengobatan penderita dengan kemoterapi FAC lebih kecil dibanding dengan biaya pengobatan penderita dengan kemoterapi berbasis Taxan. Biaya untuk kemoterapi Taxan 6,5 kali lebih banyak dari biaya kemoterapi FAC. Sedangkan secara keseluruhan biaya pengobatan kanker payudara operable di RSKD, penggunaan kemoterapi Taxan memakan biaya 2,5 lebih besar dari penderita yang mendapat kemoterapi FAC untuk 6 siklus. “Demikian pula biaya tidak langsung yang timbul dalam kemoterapi taxan 2,5 kali lebih banyak dari penderita yang memperoleh kemoterapi FAC,” paparnya.
Lebih lanjut disampaikan Banun, dalam studi kasus yang dilakukannya biaya pengobatan pasien dari keluaraga miskin FAC sebesar Rp. 129.718.416±60.283.825. Sedangkan biaya pengobatan pasien Taxan sebesar Rp. 221.543.987±88246.590. Pada perhitungan RIEB diperoleh biaya pengobatan taxan terhadap FAC sebesar Rp. 765.213.092/QALY gained. “Nilai ini lebih dari 3 kali GDP sehingga bisa dikatakan FAC merupakan pilihan pengobatan kemoterapi yang lebih menghemat biaya. Agar tidak memberatkan penderita dan keluarga menanggung biaya,” jelasnya. (Humas UGM/Ika)