![](https://ugm.ac.id/wp-content/uploads/2015/02/09021514234642791359963211.jpg)
Hari Pers Nasional yang diperingati setiap tanggal 9 Februari diharapkan bisa menjadi ajang introspeksi agar pers lebih cerdas dalam memilih dan menyajikan berita. Jangan sampai pers hanya mengikuti rumor dan bukan fakta. Salah satunya dalam konflik antara KPK dan Polri.
“Rumor bisa jadi trik. Jangan sampai pers terbawa arus sehingga justru akan menimbulkan kegaduhan politik,” papar pengamat media dari Jurusan Ilmu Komunikasi UGM, Dr. Ana Nadhya Abrar, M.E.S, Senin (9/2).
Abrar menambahkan jika pers hanya mengedepankan rumor tanpa memperhitungkan fakta maka energi bangsa akan habis khususnya dalam konflik antara KPK-Polri tersebut. Peringatan Hari Pers kali ini diharapkan bisa menjadi ruang introspeksi bagi pers di Indonesia. Menurut Abrar jika dalam pengumpulan fakta pers hanya mengikuti rumor maka dalam proses jurnalistik selanjutnya, seperti penulisan hingga editing pun akan salah.
“Harus netral. Jangan sampai karena simpati terhadap seseorang atau tokoh, pers kemudian berpihak,” katanya.
Senada dengan itu dosen Ilmu Komunikasi UGM, Drs. I Gusti Ngurah Putra, M.A., pada peringatan Hari Pers Nasional kali ini lebih banyak menyoroti tentang implikasi new media (media baru). Media baru menurut Ngurah bisa menimbulkan beberapa konsekuensi. Dengan media baru peluang serta kontribusi masyarakat dalam proses pemberitaan kian terbuka dengan adanya jurnalisme warga.
“Pertanyaannya adalah apakah mereka sudah sesuai kualifikasi dalam proses jurnalisme tersebut? Jangan-jangan dalam menyajikan antara fakta dan opini masih campur aduk,” tanya Ngurah.
Di sisi lain hal ini juga berlaku bagi wartawan. Untuk itu masyarakat juga perlu kritis dalam melihat pemberitaan yang ada. Media literasi diperlukan di tengah lemahnya kontrol dari berbagai lembaga pengawas seperti KPI maupun Dewan Pers.
“Tidak bisa bergantung dari lembaga-lembaga itu maka lebih baik fokus pada pemberdayaan masyarakat untuk membangun sikap kritis mereka. (Humas UGM/Satria)