![](https://ugm.ac.id/wp-content/uploads/2015/02/06021514232101281778119639-705x510.jpg)
Karakteristik media baru yang interaktif, demokratis, renggang tata nilai sosial, dan kian personal, telah menawarkan sebuah dunia baru. Kehadiran media baru di satu sisi dapat dilihat sebagai wadah katarsis dan pelepas katup represi transaksi seks kehidupan sosial. Di lain sisi keterbukaan dunia baru dapat dilihat sebagai dinamika interaksi dan ekspresi seksual yang spesifik dan bergerak dalam tatanan struktur dunia maya yang mungkin sama sekali berbeda.
“Fondasi interaksi masyarakat di tengah ekologi informasi dan media baru saat ini, secara logis maupun faktual dalam konteks transasksi seks telah mendorong struktur sosial yang ada ke dalam dunia interaktif termediasi,” ungkap Dian Arymami dalam seminar Controversies on Anti-Pornography Act and Sexual Transaction in New Media, Kamis (5/2) lalu di Sekolah Pascasarjana UGM.
Menurut Dian beragam kemudahan dan keuntungan dipaparkan melalui ruang termediasi. Beragam pembatasan aturan, nilai, dan hirarki sosial lenyap dalam dunia digital. Penjaja seks secara individual dapat memotong kompas jaringan dan struktur seks komersial yang selama ini ada di ranah sosial; seperti memasarkan diri secara individual, bekerja mandiri tanpa mucikari yang memberikan keuntungan lebih secara finansial maupun psikologis.
“Dalam hal ini sifat media yang melekat sebagai sarana komunikasi, tidak berubah dalam konteks transaksi seksual. Kehadiran media dalam persoalan transaksi seks, semata menjadi wadah koneksi tema dan informasi,” kata dosen di Jurusan Ilmu Komunikasi UGM itu.
Dian menambahkan dinamika transaksi seksual di era media baru, bisa dibaca sebagai gambaran menguatnya perayaan ekspresi dan kegiatan seks oleh masyarakat Indonesia. Di tengah perkembangan media, terma transaksi seks yang penuh perdebatan karena berdiri pada bias pemahaman atas dua prinsip dasar perilaku kehidupan manusia; prinsip ekonomi hukum penawaran-permintaan dan prinsip biologis insting seksualitas; kian melebur tanpa batas. Pemahaman dan pendekatan yang cenderung homogen terhadap terma transaksi seks di tengah era media baru, tampaknya perlu ditinjau ulang.
“Perkembangan budaya perayaan seksualitas dan kegiatan seks yang kemudian berlangsung, telah menggeser makna transaksi melampaui nilai materialistik. Hal ini membutuhkan studi serius di masa depan,” tegasnya.
Sementara itu Ronja Eberle dari Humbolt University Berlin pada acara itu lebih banyak menyoroti bagaimana UU Antipornografi dan Pornoaksi menjadi bagian dari strategi nasionalisme Indonesia. Riset yang dilakukan Ronja bertolak dari aktivitas Islam “garis keras”. (Humas UGM/Satria)