YOGYAKARTA – Masyarakat Jawa memiliki kekayaan budaya dan kearifan lokal yang dinilai relevan dengan konsep pembangunan berkelanjutan. Salah satu diantaranya adalah Brubuh. Brubuh adalah sistem penebangan kayu tradisional yang didasarkan atas perhitungan yang menggunakan sistem kalender pertanian Jawa yang sering kita kenal dengan istilah Pranata Mangsa.
Di dalam konsep Brubuh, penebangan kayu tradisonal tidak dilakukan sembarang waktu, akan tetapi dilakukan pada musim-musim tertentu. Pranata mangsa memiliki 12 musim (mangsa). Musim yang paling baik untuk melakukan Brubuh adalah mangsa tuwa (musim tua), yaitu mangsa Kasanga, Kasadasa, dan Dhesta. “Musim ini datang antara bulan Maret sampai Pertengahan Mei,” kata Peneliti Pusat Studi Pancasila (PSP) UGM, Surono, M.A. ditemui di kampus UGM, Kamis (5/2), saat memaparkan hasil penelitiannya.
Musim Kasanga atau kesembilan terjadi pada tanggal 1 Maret – 25 Maret yang memiliki ciri-ciri, Padi berbunga; jangkrik mulai muncul dan bernyanyi; tonggeret dan gangsir mulai bersuara, bunga padi glagah berguguran. Musim kesepuluh (Kasadasa), datang pada sekitar tanggal 26 Maret hingga 18 April yang memiliki ciri-ciri padi mulai menguning, telur-telur burung-burung kecil mulai menetas. Lalu mangsa Desta (kesebelas) datang pada sekitar tanggal 19 Apr – 11 Mei, yang memiliki ciri: burung-burung memberi makan anaknya, buah randu mekar, dan sebagainya.
Jika penebangan kayu-bambu dilakukan pada musim tua ini, kata Surono, maka kayu atau bambu yang dihasilkan memiliki kandungan lignin yang paling rendah sehingga tidak mudah dimakan serangga dan memiliki tingkat kelenturan-kekuatan paling tinggi.
Lebih lanjut Surono menambahkan, sistem Brubuh dinilai mampu menjaga kelestarian alam dan lingkungan yang saat ini semakin terancam keberlanjutannya. Kayu dari hasil tebangan dengan sistem Brubuh dinilainya lebih awet dan mampu membuat manusia untuk tidak setiap saat menebang kayu untuk memenuhi kebutuhan mereka. “Hal ini mendukung kelestarian alam yang kita tahu memiliki waktu yang lebih lama untuk memperbaiki diri dan menjaga kehidupan bumi lebih baik,” paparnya.
Meski demikian, kata Surono, musuh terbesar dari sistem brubuh adalah nafsu manusia mengeruk keuntungan yang berlebihan. Tidak hanya itu, kearifan lokal ini makin terkikis dan tidak dikenal lagi di kalangan generasi muda. Ditambah hutan di Jawa makin menipis berganti dengan perkotaan. Dari hasil penelitian Surono, Brubuh masih diterapkan di desa-desa di sekitar kecamatan Bayat Klaten dan Dusun Bragasan, Trihanggo, Sleman. (Humas UGM/Gusti Grehenson)