YOGYAKARTA – Aminin, 23 tahun, adalah satu dari ratusan mahasiswa penerima beasiswa Bidik Misi Universitas Gadjah Mada gelombang pertama di tahun 2010. Ia berhasil menyelesaikan pendidikan S1-nya pada pertengahan tahun lalu. Dengan IPK 3.06, Aminin menyelesaikan studi selama empat tahun sesuai dengan masa kontraknya sebagai penerima beasiswa Bidik Misi. “Saya lebih memilih lulus dengan IPK pas-pasan dari pada harus membayar biaya kuliah sendiri,” tutur Aminin saat ditemui di rumahnya yang berada di kampung Samirono, Yogyakarta, Kamis (29/1).
Perjalanan Aminin diterima kuliah di Universitas Gadjah Mada tidaklah mudah. Awalnya ia mendaftarkan lewat jalur PBUTM (Penelusuran Bibit Unggul Tidak Mampu) dan UM (Ujian Mandiri), hingga akhirnya ia berhasil masuk di Jurusan Biologi melalui jalur Ujian Tulis. Beruntung, Aminin mendapatkan beasiswa Bidik Misi, selama kuliah empat tahun ia tidak dipungut biaya pendidikan alias gratis.
Selama kuliah, Aminin aktif di UKM Resimen Mahasiswa (Menwa) sejak awal semester, bahkan sempat memegang jabatan selama satu tahun sebagai Ketua Urusan empat. Wanita yang diwisuda pada 19 Agustus 2014 lalu, bahkan pernah mengikuti Pimnas dengan penelitiannya mengenai teknik memperbanyak tanaman anggrek.
Anak Pedagang Buah
Ayah Aminin, Nur Setyono, adalah seorang pedagang buah lokal yang sehari-harinya membuka lapak di sebelah timur Wisma MM UGM. Dengan bermodal tenda dari bahan bagor (anyaman dari daun rumbia), ia membuka lapak dari pagi hingga menjelang malam. Di saat pedagang buah lainnya menjajakan buah-buahan impor, Setyono sejak dulu konsisten lebih memilih buah-buahan lokal. “Selain lebih tahan lama, buah lokal lebih banyak untungnya,” begitu kata Nur Setiyono.
Sebagai penjual buah, Setyono mengaku penghasilannya tak menentu. Jika dihitung mungkin hanya cukup untuk makan sehari-hari bersama keempat orang anaknya. Profesinya sebagai pedagang buah lokal tak membuat ia patah arang untuk terus menyekolahkan keempat anaknya sampai jenjang paling tinggi. “Modal saya hanya berdoa, jika Tuhan menghendaki pasti ada jalan,” begitu tuturnya.
Adik pertama Aminin saat ini telah memasuki semester 6 di Jurusan Fisika UNY. Adik kedua dan ketiganya masih duduk di Kelas 1 SMP dan 2 SD. Tak seberuntung kakaknya, Setiyono harus membiayai sendiri biaya kuliah anak keduanya itu. “Uangnya dari hasil tabungan kami dan tabungan beasiswa Bidik Misi Aminin,” katanya.
Setyono bercerita keluarganya adalah penduduk rantau dari Nganjuk, Jawa Timur. Dengan mengharap kehidupan yang lebih baik, dan memperhitungkan aksesibilitas pendidikan anak yang lebih mudah, mereka pun nekat merantau ke Jogja. Mereka merantau saat Aminin masih duduk di bangku SD. Sejak merantau ke Jogja, mereka mengontrak gubuk kecil berukuran 4×5 dengan biaya Rp. 2,5 Juta pertahunnya di Padukuhan Samirono. Angka yang lumrah untuk sebuah gubuk kecil berdinding gedhek yang sewaktu-waktu bisa ambruk terkena angin. Benar saja, belum sampai tiga bulan ditempati, gubuk kecil itu pun ambruk karena keadaan tiang penyangganya yang telah lapuk. “Mau tidak mau, akhirnya kita benahi dengan biaya sendiri,” kata Ibu Aminin, Khalimatul Muslimah. Tidur, belajar, memasak, menonton televisi mereka lakukan di satu ruangan yang sama setiap harinya.
Kini, pasca lulus Sarjana Biologi, Aminin berkeinginan untuk melanjutkan studi S2-nya di UGM dengan jalur beasiswa. Sambil mendaftar beasiswa S2, Aminin mengisi waktu luangnya dengan menjadi guru les di Lembaga Bimbingan Belajar Quantum. Dari hasil mengajarnya, ia mendapatkan gaji sebesar Rp. 45.000,- setiap pertemuan. Ia pun mengaku tak ingin pergi jauh dari orang tua “Saya ingin mencari kerja di Jogja saja,” begitu katanya. Nur Setiyono tampak sangat bangga melihat anak pertamanya telah berhasil menyelesaikan studi S1nya. Ia optimis anaknya akan bisa melanjutkan kuliah ke jenjang selanjutnya sesuai dengan apa yang ia cita-citakan. (Humas UGM/Izza)