Penggunaan batu bara sebagai sumber energi semakin meningkat dari tahun ketahun. Demikian halnya penggunaan batu bara sebagai bahan bakar tak langsung yakni batu bara yang diubah menjadi minyak atau batu bara dicairkan.
Edy Nursanto, dosen Jurusan Teknologi Mineral UPN Veteran Yogyakarta mengatakan bahwa batu bara peringkat rendah merupakan salah satu jenis batu bara yang potensial untuk dicairkan. Dalam proses pencairan batu bara menunjukkan adanya hubungan antara proses konversi batu bara peringkat rendah dengan komposisi maseral dalam batu bara. Semakin banyak kandungan persen maseral vitrinit dan lipnit pada batu bara, maka semkain banyak persen konversi pencairannya. Disamping itu, semakin banyak persen kandungan vitrinit dan lipnit pada batu bara akan meningkatkan rasio atom H/C.
Sementara itu, disebutkan Edy penelitian tentang pengaruh karakteristik maseral, mineralogi, dan geokimia batu bara peringkat rendah di Indonesisa terhadap proses pencairannya belum pernah dilakukan sebelumnya. Karenanya, ia melakukan penelitian untuk menguji karakteristik batu bara peringkat rendah yang berimplikasi pada proses pencairan batu bara. Batu bara yang digunakan merupakan batu bara formasi Warukin pada cekungan Barito, Kalimantan Selatan. Penelitian percobaan pencairan batu bara dirancang dengan temperatur rendah yaitu 120 ?C dengan tekanan 1 atm dalam satuan autoclave.
Hasil penelitian menunjukkan maseral vitrinit dan liptinit memiliki peranan dan berpengaruh baik dlaam proses pencairan batu bara. Jumlah kandungan maseral liptinit dalam batu bara dapat meningkatkan rasion atom H/C sehingga hasil konversi pencairan batu bara meningkat.
“Unsur utama yang paling berpengaruh dalam proses pencairan batubara adalah FeO, TiO2, MgO. Sedangkan mineral-mineral yang terdapat dalam batubara didominasi oleh mineral kuarsa, rutil, kaolin, geotit, kalsit, dolomit, dan feldspar,” urainya, Kamis (18/1) saat melaksanakan ujian terbuka program doktor di Fakultas Teknik UGM.
Edy menyampaikan mineral pirit dalam percobaan pencairan yang dilakukan terbukti kurang berpengaruh baik terhadap produk karena temperatur proses pencairan yang digunakan rendah. Hal tersebut mengakibatkan mineral pirit belum terdekomposisi membentuk pyrrhotite.
“Padahal terbentuknya pyrrhotite dari mineral pirit berperan dalam proses pencairan karena berfungsi sebagai katalis,” tuturnya.
Temuan lain memperlihatkan grup fungsi pada batu bara lapis Wara berupa sinyal alfatik C-H yang berkisar pada bilangan gelombang antara 3000-2500 cm-1 dalam analisa FTIR merupakan penciri batubara peringkat rendah dari jenis lignit. Sedangkan pada batu bara lapisan Tutupan 210 dan Paringin 712 terjadi sinyal aromatik C-H pada range 2000-1000 cm-1 yang merupakan penciri batubara peringkat menengah dan merupakan batu bara subbituminus.
“Hasil pencairan pada ketiga lapisan tersebut mencapai optimal dengan waktu pencairan 60 menit karena terjadi reaksi balik yang sangat cepat dan radikal bebas batu bara sebagian mengalami polimerisasi sehingga hasil batu bara cair mengalami penurunan,” pungkasnya. (Humas UGM/Ika)