YOGYAKARTA – Pakar Lingkungan UGM Dr. Tjut Sugandawaty Djohan mendesak Menteri Kehutanan menghentikan pembukaan hutan untuk lahan industri perkebunan kelapa sawit dengan memperpanjang kebijakan moratorium kelapa sawit. Hal itu dilakukan untuk melindungi keberadaan hutan hujan tropis yang tersisa hanya sekitar 33 persen atau 43 juta ha dari luas hutan yang mencapai 130 juta ha. “Di Sumatera hutan hanya tinggal 30 persen. Itu pun hutan yang paling banyak berada di Aceh. Di Jawa, hutan sudah tinggal 3 persen. Kerusakan hutan ini akibat pembukaan lahan untuk kelapa sawit,” kata Tjut Sugandawaty kepada wartawan ditemui di Fakultas biologi UGM, Jumat (12/12).
Menurut Tjut Suganda, kerusakan hutan Indonesia sudah sangat massif dalam tiga puluh tahun terakhir. Salah satu sebabnya, makin banyaknya daerah yang membuka izin pembukaan lahan perkebunan kelapa sawit. Bahkan termasuk kawasan hutan lindung dan hutan konservasi tidak luput dari dampak izin pembukaan lahan kelapa sawit tersebut. “Hutan taman nasional Tesso Nilo di Riau saja sekitar 60 persen luas hutannya sudah jadi kebun sawit. Ini sangat memperihatinkan, sampai-sampai Harrison Ford (aktor Hollywood-red) saja marah saat bertemu dengan Menteri Kehutanan (Zulkifli Hasan) waktu itu,” ujarnya.
Peneliti ekologi dan konservasi dari Fakultas Biologi UGM ini menegaskan tidak mudah mengembalikan lahan perkebunan kelapa sawit untuk menjadi kawasan hutan kembali. Satu-satunya jalan adalah menutup peluang penambahan pembukaan lahan perkebunan kelapa sawit baru. Menurutnya ini membutuhkan tindakan tegas menteri kehutanan Siti Nurbaya.
Secara pribadi, Tjut Suganda mengapresiasi langkah Susi Pudjiastuti sebagai Menteri Kelautan dan Perikanan yang melakukan langkah tegas menyelamatkan sumber daya laut dengan melarang kapal-kapal asing mengambil ikan secara ilegal. Sebaliknya, Tjud Suganda berharap Menteri kehutanan Siti Nurbaya meniru langkah serupa dalam bidang kehutanan. “Saya belum melihat ke arah itu, gebrakan Ibu Susi jelas dalam pengelolaan laut, tapi kebijakan di darat (hutan) belum ada. Sementara kerusakan hutan kita sangat luar biasa,” tukasnya.
Sementara dalam kesempatan yang sama, Prof Noel Holmgren, pengajar theoritical ecology dari Universitas Skovde Swedia, mengatakan pendekatan modeling ekologi bisa digunakan untuk memprediksi fenomena yang terjadi di alam. Bahkan teknik modeling ini bisa untuk memperkirakan dampak ekologi di kemudian hari dari aktivitas yang dilakukan oleh manusia maupun hewan. “Pendekatan ini bisa digunakan untuk memprediksi laju kerusakan alam sehingga bisa membantu pengambilan sebuah kebijakan,” pungkasnya. (Humas UGM/Gusti Grehenson)