![](https://ugm.ac.id/wp-content/uploads/2014/12/08121414180250151238845807-825x435.jpg)
YOGYAKARTA – Keraton Yogyakarta memiliki ritual budaya minum teh yang biasa dikenal dengan nama ‘Patehan’ atau persembahan minum teh kepada Raja. Ritual menyiapkan minuman teh kepada Raja terbilang khas karena cara meracik dan meramu teh sebagai minuman Raja dibuat secara khusus. Akan tetapi, cara meracik teh bagi keluarga Raja ini akan dikenalkan lebih luas kepada masyarakat. Tidak hanya budaya minum teh keraton, meracik minuman teh di kalangan penjual angkringan di Yogyakarta bisa dilihat langsung dalam Jogja Tea Party pada 12-14 Desember mendatang di Benteng Vredeburg Yogyakarta. Kegiatan pameran produsen dan komunitas pecinta teh ini diselenggarakan oleh Fakultas Pertanian UGM bekerjasama dengan PT Pagilaran dalam rangka memperingati 50 tahun PT Pagilaran dan Dies Natalis ke-68 Fakultas Pertanian.
Ketua Panitia, Achmadi Priyatmojo, mengatakan Jogja Tea Party akan diisi dengan aneka kuliner teh, green tea competition dan seminar. Khusus untuk perlombaan, pesertanya terdiri dari para penjual angkringan yang biasa menjajakan minuman teh di Yogyakarta. Mereka berlomba dalam membuat minuman teh yang memiliki cita rasa tinggi. “Mereka diminta menentukan komposisi teh dari masing-masing grade,” ujarnya.
Bagi Achmadi, kegiatan Jogja Tea Party ini menjadi ajang mempertemukan para pengelola perkebunan, produsen, petani dan konsumen teh dalam memberikan masukan kepada pemerintah terkait kondisi industri teh nasional yang saat ini mengalami penurunan produksi yang disebabkan berkurangnya lahan perkenbuanan teh. “Setiap tahunnnya ada 2500 hektar lahan perkebunan yang berkurang,” tuturnya.
Rachmat Gunadi, Direktur PT Pagilaran ini membenarkan dalam lima tahun tahun terakhir lahan perkebunan teh berkurang hingga mencapai 10 ribu hektar. Lahan perkebunan umumnya beralih fungsi karena komoditas teh dianggap tidak ‘menjanjikan’ lagi dari sisi bisnis. Umumnya kondisi ini terjadi di perkebunan yang dikelola perusahaan milik negara. Padahal industry perkebunan teh mampu menghidupi 1,2 juta jiwa. “Saya tidak mengerti, menggapa industri teh tidak menarik lagi bagi beberapa PT Perkebunan Nusantara ,” kata Gunadi.
Berkurangnya lahan perkebunan teh secara tidak langsung berdampak dengan menurunnya produksi ekspor teh dari Indonesia. Bahkan peringkat Indonesia turun menjadi peringkat ketujuh dunia sebagai negara penghasil teh terbanyak. “Dulu kita pernah menjadi penghasil teh nomor tiga di dunia,” katanya.
Gunadi menyebutkan produksi teh dari Indonesia mencapai 150 ribu ton setiap tahunnya. Sekitar 90 ribu ton produksi teh tersebut berorientasi ekspor. Sedangkan selebihnya dikonsumsi di dalam negeri. Lahan perkebunan teh terbesar, kata Gunadi, berada di Jawa Barat seluas 95 ribu hektar atau 77 persen dari total luas perkebunan teh di Idnonesia. Sisanya sekitar 29 ribu hektar atau 23 persen berada di Sumatera Utara, Lampung, Sumatera Barat dan Jawa tengah.
Budaya Minum Teh
Dari sisi budaya minum teh, Kib Roby, salah satu pemerhati budaya minum teh, mengatakan budaya minum teh di setiap negara berbeda. Dia mencontohkan masyarakat Jawa lebih menyukai teh dengan rasa pahit, sepet, dan harus ada gula. Sementara di China, minuman teh dipilih dan sukai berdasarkan aroma dibanding cita rasa.
Hal senada juga disampaikan Lily Gunawan, pemilik teh PT Gunung Subur, mengatakan setiap daerah di Indonesia memiliki ragam dalam meracik teh sebelum menjadi minuman. “Masing daerah memilki karakteristik dalam meramu minuman. Setiap rumah juga memiliki kebiasaan khusus dalam meracik teh, ini yang barangkali tidak miliki oleh negara lain,” pungkasnya. (Humas UGM/Gusti Grehenson)