Penetapan kenaikan harga BBM bersubsidi oleh pemerintahan Jokowi-Jusuf Kalla menuai reaksi penolakan dari berbagai pihak. Legitimasi menaikkan harga BBM bersubsidi dinilai sangat lemah karena dilakukan justru di saat harga minyak dunia sedang turun. Bahkan persoalan semakin pelik ketika program kompensasi pengurangan subsidi BBM berupa program Kartu Keluarga Sehat (KKS), Kartu Indonesia Sehat (KIS), dan Kartu Indonesia Pintar (KIS) diluncurkan.
Pengamat Kebijakan Perlindungan Sosial UGM, Mulyadi Sumarto, Ph.D., mengatakan ketiga program kartu ‘sakti’ yang diluncurkan pemerintahan Jokowo-Jusuf Kalla sebenarnya memiliki esensi program yang sama dengan sejumlah program dalam pemerintahan sebelumnya. Penggantian nama program tak pelak menimbulkan kebingungan masyarakat terutama bagi rumah tangga miskin sebagai sasaran program dan para pelaksana teknis lapangan. Pasalnya sampai saat ini belum terdapat petunjuk pelaksanaan program yang jelas dari pemerintah. “Tanpa adanya kejelasan dari program-program itu akan menempatkan masyarakat dalam risiko untuk menghadapi konflik seperti yang pernah terjadi pada pelaksanaan program BLT,” jelasnya, Kamis (4/12) dalam seminar nasional “Politik Anggaran: Antara Subsidi dan Perlindungan Sosial Untuk Rumah Tangga Miskin” di Gedung Masri Singarimbun UGM.
Dalam pandangan Mulyadi, program kartu ‘sakti’ yang diluncurkan secara legal formal tidak dapat dikatakan sebagai program kompensasi pengurangan subsidi BBM. Pasalnya tidak terdapat Instruksi Presiden yang menyatakan demikian. “Jadi pernyataan pemerintah bahwa KKS, KIS, dan KIP sebagai program kompensasi bersifat rapuh,” tutur Mulyadi.
Lebih lanjut Mulyadi mengatakan pemerintah seharusnya berfokus dalam upaya memperkuat sistem dan meletakan pondasi kelembagaan yang lebih mapan agar tujuan moral dari pendistribusian kesejahteraan bisa tercapai. Bukan hanya mengurus yang ada pada tataran permukaan saja dengan mengubah nama program.
Dosen Lemhanas RI, Dr. Timotius Dharmawan Harsono, B.Sc., M.Sc., menilai upaya pengalihan anggaran subsidi BBM ke sektor-sektor produktif merupakan langkah yang tepat. Kendati demikian, langkah menaikan harga BBM perlu dilakukan secara bertahap dengan penyesuaian mekanisme subsidi. Tersedianya produk BBM bersubsidi di pasar telah membuka peluang terjadinya penyalahgunaan. Maka dari itu subsidi secara langsung ke masyarakat berpenghasilan rendah akan lebih menjamin agar tepat sasaran dan sekaligus menghemat keuangan negara.
Subsidi BBM, kata dia, justru menghambat kebijakan diversifikasi dan konversi energi. Hal itu disebabkan pemberian subsidi cenderung mendorong terjadinya pemborosan BBM dan tidak memberikan intensif bagi berkembangnya energi baru terbarukan. “Apabila subsidi memang dimaksudkan untuk membantu masyarakat miskin maka tidak harus dalam bentuk subsidi BBM. Kedepan jika akan ada pemberian subsidi bagi masyarakat dalam bentuk apapun hendaknya diseleksi, dibatasi, dan ditarget,” tandasnya.
Sementara untuk meningkatkan kesejahteraan sosial masyarakat, Timotius mengatakan perlu dilakukan peningkatan anggaran pendidikan dan kesehatan serta pembangunan perdesaan. Begitu pula dengan pembangunan infrastruktur harus dilakukan untuk meningkatkan kualitas pertumbuhan ekonomi dan mengurangi kesenjangan pembangunan antardaerah. “Pencapaian sasaran kebijakan diversifikasi dan konversi energi selama ini masih jauh dari harapan karena terbatasnya dukungan anggaran negara,” kata Timotius.
Menurutnya, keterjaminan adan kemandirian energi sangat ditentukan oleh keberhasilan implementasi kebijakan diversifikasi, konservasi, intensifikasi, dan harga energi. Penghematan uang negara yang diperoleh dari pengurangan subsidi dapat diprioritaskan untuk mendukung program pembangunan di sektor sosial, ekonomi, dan energi secara berkelanjutan.
Pernyataan senada juga disampaikan oleh Guru Besar Manajemen dan Kebijakan Publik FISIPOL UGM, Prof. Dr. Wahyudi Kumorotomo, M.P.P. Ia mengatakan bahwa pemerintah memang perlu mengubah prioritas subsidi BBM ke arah subsidi yang memiliki target yang jelas sehingga pemerataan berbagai hasil pembangunan dapat berjalan lebih baik. “Langkah untuk mengubah prioritas subsidi dengan menganut paradigma penandaan prioritas anggaran (budget punction) sangat dibutuhkan mengingat sudah sekian lama subsidi BBM menjadi beban politik yang sangat berat,” tegasnya.
Pengalihan subsidi BBM ke arah subsidi yang lebih produktif, lanjut Wahyudi, telah menjadi pertaruhan politik anggaran yang sangat menentukan bagi pemerintahan Presiden Jokowi. Efektivitas pemberian subsidi kepada alokasi pendanaan yang lebih penting seperti pendidikan, kesehatan, serta infrastruktur akan menjadi titik penting penentu kepercayaan publik pada pemerintahan saat ini. “Yang diperlukaan saat ini adalah tindaklanjut kebijakan yang harus disertai dengan komunikasi politik yang terbuka dengan pola pengawasan terhadap implementasi yang konsisten,” terangnya.
Penghematan subsisi BBM sebasar Rp. 120 triliun dari kenaikan harga BBM baru-baru ini, disampaikan Wahyudi harus benar-benar dimanfaatkan untuk mendanai program-program strategis pemerintah. Selain itu pengalihan subsidi secara tepat kepada segmen masyarakat yang membutuhkan.
Direktur Perlindungan dan Kesejahteraan Masyarakat BAPPENAS, Vivi Yulaswati, Ph.D., menyebutkan bahwa program kompenasi berupa bantuan tunai yang dijalankan pemerintah selama ini merupakan langkah untuk meredam lonjakan inflasi dalam jangka pendek. Pemberian bantuan tunai bersifat efektif dalam mempertahankan tingkat konsumsi atau sebagai tambahan strategi mengatasi krisis kelompok miskin. Namun begitu, bantuan tunai tidak dapat melindungi masyarakat dari berbagai sumber kerentanan. “Karenanya perlu dibangun sistem perlindungan sosial yang komperehensif yang melindungi setiap warga negara saat terjadi risiko baik ekonomi, sosial, maupun lingkungan dengan memberikan asuransi sosial, kesejahteraan sosial, perlindungan pekerja, serta jaring pengamanan sosial,” ujarnya.
Tidak hanya itu, menurutnya kedepan perlu dilakukan perbaikan dalam proses pendataan rumah tangga sasaran penerima bantuan tunai. Hal ini penting diupayakan agar akumulasi ketidakpuasan terhadap pentargetan yang jurang akurat tidak meningkatkan ketegangan sosial. “Perbaikan bisa dimulai dengan pengembangan sistem pengaduan dan rujukan untuk memperbaiki proses up-dating sasaran secara reguler, dinamis, dan sinkron dengan program lainnya serta penanganan pengaduan,” pungkasnya. (Humas UGM/Ika).