![](https://ugm.ac.id/wp-content/uploads/2014/11/2111141416540328121252773-680x510.jpg)
Masa tenang atau masa tidak ada bencana menjadi waktu yang baik untuk meningkatkan kapasitas, baik sumber daya manusia, infrastruktur maupun kebijakan untuk pengurangan risiko bencana (PRB), termasuk dalam hal logistik. Dalam upaya meningkatkan kapasitas lokal tersebut, perlu kiranya mengidentifikasi aktor-aktor lokal berkaitan logistik, di antaranya individu sebagai volunteer, SDM sebagai distributor dan lembaga-lembaga kemanusiaan khususnya lembaga-lembaga pilanthropy.
Frans Toegimin dari forum Pengurangan Risiko Bencana DIY mengatakan hal itu dalam Seminar Peluang dan Tantangan Pengembangan Logistik Kebencanaan di Indonesia, Jum’at (21/11) di Grha Sabha Pramana, Bulaksumur. Seminar digelar Pusat Studi Transportasi dan Logistik UGM dalam rangka meramaikan UGM Expo tahun 2014.
Menurut Frans Toegimin, identifikasi volunteer lokal dapat menjadi volunteer distributor logistik di saat masa tanggap darurat. Hal ini perlu dikakukan khususnya di wilayah yang menghadapi permanen hazards, baik dalam skala besar seperti erupsi gunung berapi, maupun skala kecil, seperti kekeringan di Gunung Kidul.
“Karena itu perlu melakukan assesmen dan perencanaan logistik, sekaligus mengidentifikasi potensi konflik yang mungkin terjadi terkait logistik”, paparnya.
Frans Toegimin menandaskan dalam masa tanggap darurat, waktu dapat menjadi tekanan yang berat untuk proses asessmen dan perencanaan. Informasi yang tidak lengkap dan tidak akurat memerlukan update yang terus menerus dan feksibel.
“Inisiatif kesiapsiagaan memerlukan kunci untuk secepat mungkin dimulai. Melakukan analisa asal-usul data, menyiapkan SOP, menyiapkan katalog standard produk, kesepakatan awal dengan pemasok dan asessmen kapasitas logistik”, ungkapnya.
I Made Susmayadi dari Pusat Studi Bencana UGM menambahkan dalam upaya penanggulangan resiko bencana terkait logistik, maka yang perlu diperhatikan adalah tahap-tahap kesiapsiagaan, tahap tanggap darurat dan tahap rehabilitasi dan rekonstruksi. Di dalam tahap kesiapsiagaan maka standar logistik yang tersedia berfungsi sebagai “buffer stock”.
Selanjutnya di masa tanggap darurat, maka standar logistik pada masa tanggap darurat menggunakan “buffer stock” berfungsi sebagai pemberian layanan kebutuhan dasar minimal untuk korban bencana. Kebutuhan logistik tahap tanggap darurat selanjutnya berdasar pada hasil analisis need assesment tanggap darurat.
“Sementara itu standar logistik pada tahap rehabilitasi dan rekonstruksi berfungsi sebagai pemberian layanan kebutuhan dasar minimal untuk kelangsungan kehidupan korban bencana pada saat berada di pengungsian. Standar jumlah minimal paket logistik yang tersedia ditentukan hasil analisis need assesment”, katanya. (Humas UGM/ Agung)