![](https://ugm.ac.id/wp-content/uploads/2014/11/11111414156750301089864580.jpg)
Pemberian sumbangan dalam berbagai bentuk terbukti mempengaruhi partisipasi pemilih dalam pemilihan legislatif (pileg) April 2014 lalu. Bahkan strategi ini menjadi pertimbangan utama dalam memilih calon legislatif.
“Politik uang dalam bentuk club goods justru menjadi paling dominan pada pileg kemarin,” jelas Dosen Jurusan Politik Pemerintahan (JPP) FISIPOL UGM, Dr.rer.pol. Mada Sukmajati, MPP., saat menyampaikan hasil riset JPP FISIPOL UGM tentang politik uang dan perilaku pemilih di Jawa, Kamis (13/11) di University Club UGM. Penelitian dilakukan bersama dengan dosen JPP lainnya yaitu Dr. Haryanto, MA., dan Dr. Ari Dwipayana.
Penelitian dilakukan pada tanggal 2-20 April 2014 dengan melakukan wawancara kepada 16 narasumber di enam daerah penelitian di Kota Yogyakarta, Sleman, dan Kulon Progo. Keenam daerah tersebut adalah Prawirodirjan (Kali Code) dengan karakter masyarakat urban-marjinal, Kotagede dengan karakter masyarakat urban-muslim, Mlangi dengan karakter masyarakat suburban-pesantren, Minomartani dengan karakter suburban-perumahan, Tunjungan dengan karakter rural-pertanian, dan Imorenggo dengan karkakter rural-pesisir.
Mada mengatakan dari penelitian menunjukkan politik uang dalam bentuk pembelian suara masih saja terjadi di semua daerah. Kendati begitu, strategi ini tidak terlalu memberikan pengaruh bagi pemilih dalam menentukan pilihan. Dari enam daerah penelitian strategi pembelian suara hanya berhasil memenangkan caleg di wilayah rural pertanian. Sementara dengan pemberian sumbangan berhasil memenangkan caleg di empat wilayah yakni rural-pesisir, urban-marjinal, suburban-perumahan, serta suburban-pesantren.
“Vote buying hampir ditemukan disetiap wilayah, namun bukan menjadi pertimbangan utama dalam menentukan pilihan. Justru club good yang jadi pertimbangan utama pemilih,” kata Mada kembali menegaskan.
Strategi meraih dukungan suara pemilih dengan pemberian sumbangan diberikan dalam berbagai macam bentuk. Antara lain berupa uang pendaftaran kejuaraan futsal disertai janji pembuatan kaos tim, paket lebaran dan natal, ternak bebek untuk komunitas pengajian, mengisi kas karang taruna, perbaikan sekolah, pembangunan asram asantri, tiket nonton dan seragam kepada ibu-ibu pengajian, serta pembagian baju batik untuk arisan bapak-bapak.
Sementara peneliti lainnya, Ari Dwipayana menggarisbawahi bahwa strategi pembelian suara yang terjadi di hampir semua wilayah penelitian tidak sepenuhnya menentukan pilihan masyarakat.
“Vote buying hanya sebagai tiket masuk saja, bukan berarti memperoleh kursi,” ujarnya.
Ari Dwipayana menyampaikan bahwa politik pragmatik disebagian kecil wilayah berhasil memenangkan suara caleg. Hal ini menunjukkan bahwa penggunaan atau klaim program pemerintah dalam kampanye caleg tidak sepenuhnya hilang.
“Ternyata masih ada r uang untuk politik pragmatik yang memenangkan suara yaitu di wilayah urban-muslim,” jelasnya.
Lebih lanjut disampaikan Ari Dwipayana, dari hasil penelitian diketahui bahwa preferensi politik perangkat desa seperti kepala dusun dan tokoh masyarakat berpengaruh besar terhadapi pilihan pemilih. Demikian halnya dengan kyiai dan preman yang preferensi politiknya dianggap penting oleh sebagian pemilih.
“Sebagian kecil lainnya masih menganggap penting peran partai politik. Ini menunjukkan bahwa jaringan partai tidak sepenuhnya ditinggalkan para caleg,” katanya.
Ari Diwpayana menyebutkan terdapat temuan menarik pada pola hubungan politik yang mengikat orang-orang melalui jaringan politik, ekonomi, dan sosial berdasar pertukaran keuntungan material (klientilisme). Pada umumnya caleg menghubungi atau mencari para broker di setiap daerah untuk membantu memenangkan suara. Namun, di satu daerah yaitu rural-pesisir justru broker yang aktif mencari atau menghubungi caleg untuk masuk ke wilayahnya.
Temuan lain memperlihatkan bahwa broker tidak hanya bekerja dengan menjadi penghubung caleg dengan pemilih. Akan tetapi, di sebagian daerah masih terdapat pelibatan partai dan tim sukses dalam proses meraih suara.
Sementara itu, Direktur Eksekutif SMRC, Djayadi Hanan menyampaikan hasil survei mereka secara nasional menghasilkan temuan bahwa politik uang tidak berpengaruh terhadap pemilih. Pasalnya dari hasil survei sebelum dan sesudah pileg menunjukkan hasil yang sama. Sekitar 60 persen pemilih sudah memiliki pilihan pasti sejak beberapa bulan bahkan setahun sebelum pelaksanan pileg.
“Kalau politik uang memang masif dan efektif hasilnya akan berbeda. Mungkin politik uang ini digunakan untuk menguatkan 60 persen suara pemilih yang ada,” ujarnya. (Humas UGM/Ika)