Perkawinan dini atau perkawinan di bawah umur (early marriage) menjadi sah di Indonesia meski bertentangan dengan sejumlah ketentuan internasional. Konvensi internasional, seperti UN Convention on the Rights of the Child (CRC) telah menentukan batas usia anak baik laki-laki maupun perempuan adalah sebelum ia mencapai umur 18 tahun. Batas usia berkaitan dengan hak anak untuk memberikan persetujuan (consent). Saat menginjak usia 18 tahun, anak memiliki hak untuk berpendapat, dan memberi persetujuan, bahkan dalam hal perkawinan.
Di Indonesia, melalui UU Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974, hal itu tidak berlaku khususnya bagi hak anak perempuan. Perkawinan bisa dilakukan saat anak perempuan telah mencapai usia 16 tahun.
“Banyak perkawinan anak terjadi karena kemauan orang tua. Pada usia di bawah 18 tahun anak diasumsikan belum cukup dewasa untuk mengambil keputusan yang otonom. Padahal, menikah membutuhkan otonomi di dalam pengambilan keputusan,” papar peneliti Pusat Studi Kependudukan dan Kebijakan UGM, Prof. Muhadjir Darwin, Selasa (11/11). Hal itu disampaikan oleh Muhadjir saat menceritakan kembali proses persidangan di Mahkamah Konstitusi tentang gugatan Yayasan Kesehatan Perempuan (YKP) terhadap pasal 7 ayat 1 UU Perkawinan No. 1 Tahun 1974. Pada sidang lanjutan pengujian UU Perkawinan yang digelar akhir Oktober itu, Muhadjir hadir memberikan pernyataan sebagai saksi ahli dari kalangan akademisi.
Pada sidang tersebut Muhadjir menyampaikan beberapa konfirmasi pendukung agar UU Perkawinan memberikan batasan usia yang lebih tinggi khususnya kepada perempuan, yakni menjadi 18 tahun. Salah satunya tentang tingginya angka insiden perkawinan anak di Indonesia. Penelitian PSKK UGM pada 2011 lalu di delapan kabupaten, yakni Indramayu, Grobogan, Rembang, Tabanan, Dompu, Timor Tengah Selatan, Lembata, dan Sikka menemukan angka insiden perkawinan anak yang cukup tinggi, bahkan sangat berbeda jika dibanding dengan data Susenas (Survei Sosial dan Ekonomi Nasional).
“Dari penelitian itu secara keseluruhan PSKK UGM menemukan angka insiden perkawinan anak yang lebih tinggi dibanding dengan Susenas,” jelas Muhadjir.
Menurut Muhadjir tingginya insiden perkawinan anak di Indonesia pada akhirnya justru lebih banyak memunculkan implikasi yang negatif seperti kemiskinan. Bagi rumah tangga miskin, anak perempuan dianggap sebagai beban ekonomi, dan perkawinan dianggap sebagai solusi karena lazimnya setelah menikah, kebutuhan pangan, sandang, dan papan menjadi tanggung jawab suami.
“Namun, kondisi ekonomi anak dalam keluarga barunya banyak yang tidak menjadi lebih baik daripada saat sebelum menikah. Mereka tetap kesulitan memenuhi kebutuhan pangan, dan justru menambah beban bagi orang tuanya,” tegasnya.
Muhadjir menegaskan, tak hanya banyak berimplikasi negatif, perkawinan anak sebetulnya telah melanggar hak asasi manusia, terutama hak anak. Perkawinan anak banyak yang terjadi di luar persetujuan anak. Hak untuk tumbuh kembang, kebebasan untuk mengambil pilihan dihilangkan. Maka, batas usia yang diatur di dalam UU Perkawinan harus dibatalkan, dan diganti dengan menaikkan batas usia perkawinan ke dalam usiayang lebih dewasa, yakni 18 tahun. (Humas UGM/Satria)