![](https://ugm.ac.id/wp-content/uploads/2014/10/2310141414046625725955641.jpg)
Respon pemerintah Indonesia menanggapi berbagai persoalan Transnational Organized Crime (TCO) seperti perdagangan obat terlarang, penyelundupan orang, perdagangan manusia serta pencucian uang hasil kejahatan dinilai kurang komprehensif. Pada kasus perdagangan dan penyelundupan orang, misalnya, pendekatan yang digunakan cenderung memandang perdagangan dan penyelundupan manusia sebagai masalah migrasi dan keamanan semata.
“Akibatnya, upaya pemberantasan masih terbatas pada aspek legal formal dan lepas dalam melihat beberapa faktor penting lain seperti sosial, ekonomi dan politik,” kata peneliti Pusat Studi Keamanan dan Perdamaian UGM, Prof. Dr. Sigit Riyanto, SH., LL.M pada “Sosialisasi Kajian Pemetaan dan Valuasi Dampak Negatif Transnational Organized Crime (TCO) Bagi Indonesia: Politik, Ekonomi, Sosial-Budaya” di UC UGM, Jumat (24/10).
Sigit juga menyinggung perdagangan gelap narkoba di Indonesia. Langkah Indonesia untuk menangani persoalan narkoba antara lain melalui ratifikasi perjanjian internasional yang melarang perdagangan narkoba, kampanye anti narkoba, dan layanan kesehatan serta rehabilitasi bagi korban. Upaya tersebut juga belum efektif karena munculnya faktor-faktor penghambat seperti tidak ada evaluasi terhadap kampanye anti narkoba yang dilakukan pemerintah, sistem hukum yang korup maupun dana layanan kesehatan dan rehabilitasi bagi pengguna yang minim.
“Tidak efektif karena faktor penghambat tersebut masih muncul,” imbuhnya.
Senada dengan itu staf pengajar Fakultas Hukum UGM, Prof. Dr. Marcus Priyo Gunarto, SH., M.Hum mengakui TOC terjadi bukan lagi secara individual tetapi sudah terorganisir dalam sebuah korporasi. “Tentu akan lebih sulit jika kejahatan dilakukan oleh orang asing yang melakukannya di luar batas negara dan dampaknya merugikan Indonesia,” terang Marcus.
Dr. Harry Purwanto, SH., M.Hum dari Fakultas Hukum UGM juga melihat persoalan TOC bisa menyebabkan konflik yurisdiksi antarnegara. Hal ini terjadi ketika masing-masing negara merasa memiliki kewenangan untuk menyelesaikan di negaranya sendiri.
“Yang terpenting disini selain menertibkan peraturan perundangan yaitu peningkatan kerja sama antar negara,” kata Harry (Humas UGM/Satria)