![](https://ugm.ac.id/wp-content/uploads/2014/10/0110141412126427128763482.jpg)
YOGYAKARTA – Pengamat politik UGM, Dr. Abdul Gaffar Karim, menilai pemilihan kepala daerah secara tidak langsung tidak sesuai dengan sistem pemerintahan presidensial dimana presiden dan wakil presiden dipilih langsung oleh rakyat. Dengan kata lain, pilkada tidak langsung lewat mekanisme elektoral DPRD tidak konsisten dengan sistem pemerintahan yang dianut. ”Konsekuensi sistem pemerintahan yang dijalankan saat ini adalah pilkada langsung. Tidak seenaknya mengubah tanpa mendahului mengubah sistem pemerintahnnya,” kata Gaffar dalam dikusi yang bertajuk “Pilkada Tidak Langsung, dari DPRD, oleh DPRD untuk Rakyat?” di selasar Fisipol UGM, Selasa sore (30/9).
Dosen Jurusan Politik dan Pemerintahan Fisipol UGM ini menilai UU Pilkada yang disahkan lewat rapat paripurna DPR menurutnya bagian dari perubahan yang bersifat parsial, tidak secara menyeluruh. “Ibarat tambal sulam, harusnya mengganti sistem pemerintahan terlebih dahulu, sama saja mengganti sepatu tanpa melihat ukuran kakinya,” katanya.
Dia berpendapat, pilkada tidak langsung sebaiknya ditata ulang dengan mengevaluasi sistem pemerintahan secara menyeluruh. Selain menata kembali proses pemilihan kepada daerah, Gaffar juga menilai sistem pemilihan kepala daerah di Indonesia tidak bisa diseragamkan, pasalnya setiap daerah memiliki tingkat kemajemukan yang berbeda bahkan asimetris. Dia mencontohkan DIY dan DKI Jakarta, dimana Gubernur DIY ditetapkan oleh DPRD. Sementara Walikota/Bupati di DKI Jakarta ditunjuk langsung oleh Gubernur. “Masing-masing daerah di Indonesia memiliki karakter majemuk, tidak boleh ditata seragam, kita hormati keragaman itu dengan desain otonomi asimetris,” paparnya.
Gaffar dengan tegas menyampaikan dirinya tidak sependapat bahwa alasan disahkannya UU Pikada tidak langsung disebabkan maraknya praktik politik uang dan banyak kepala daerah yang tersangkut masalah korupsi. Menurutnya, seharusnya bukan sistemnya yang dihapus justru perilaku kepala daerah yang memang korup. “Kalau KRL banyak copetnya, moso keretanya kita hilangkan. Jika ada 298 kepala daerah korupsi, itu juga pertanda karena KPK dan lembaga hukum sudah bekerja aktif,” tandasnya.
Dalam kesempatan yang sama, Mantan Walikota Yogyakarta, Herry Zudianto, mengatakan dirinya tidak mempersoalkan diterapkannya pilkada langsung maupun tidak langsung. Namun dia berharap apabila pilkada tetap dipilih oleh DPRD, jangan sampai nantinya kepala daerah marak dimakzulkan oleh anggota dewan. “Jangan sampai kepala daerah dijatuhi di tengah jalan,” katanya. (Humas UGM/Gusti Grehenson)