Lamsijan gila. Lebih tepatnya, ia memutuskan untuk menjadi gila. Orang-orang memiliki jawaban lain jika ditanya apa tujuan Lamsijan menjadi gila. Meskipun begitu, hanya ada dua alasan yang paling kuat mengapa Lamsijan memutuskan menjadi gila: lari dari hutang atau melupakan cinta.
Ini adalah penggalan cerpen “Lamsijan Memutuskan Menjadi Gila” karya Asef Saeful Anwar yang didiskusikan di Pusat Studi Kebudayaan UGM, Jumat (12/9). Hadir dalam acara tersebut Kepala Pusat Studi Kebudayaan, Dr. Aprinus Salam, M.Hum serta pakar komunikasi UGM, Dr. Ana Nadhya Abrar, M.E.S.
Antologi Lamsijan Memutuskan Menjadi Gila ini berisi 15 cerita pendek yang menawarkan sejumlah kebaruan, terutama dari sisi teknik penulisan cerita. Kelima belas cerita pendek itu berjudul “Wahyu Kesebelas yang Diturunkan kepada Tatimmah”, “Pesarean”, “Lamsijan Memutuskan Menjadi Gila”, “Kematian Sebuah Patung”, “Negeri Para Api”, “Rahasia Kitab Mimpi-Mimpi Raja”, “Denai”, “Jembatan, Kakek, dan Sesuatu yang Pergi Sebelum Diungkapkan”, “Surat Nariratih kepada Kamandanu”, “Pohon-Pohon Bersembahyang”, “Keputusan Kartim”, “Lelaki Keibuan dan Perempuan yang Menjepit Bunga di Rambutnya”, “Seseorang Rindu Berbuat Dosa”, “Tiga Puluh Tiga Ekor Kambing”, “Bunda Maria, Surga, Apel dan Tentang Pencerita”.
Dalam pengantarnya Aprinus Salam menilai ada beragam eksperimentasi teknik yang ditunjukkan oleh pengarang. Keragaman teknik ini sepertinya digunakan pengarang untuk menyiasati tema cerita yang cenderung diulang-ulang oleh penulis lainnya, seperti tema percintaan.
“Kumpulan kisah ini menyuguhkan sejumlah kisah yang tidak biasa. Pembaca dapat menikmati keduanya, baik teknik maupun cerita yang dikisahkan,” kata Aprinus.
Fenomena Lamsijan menurut Aprinus mengingatkannya kepada kasus Florence. Pada saat itu etika dan norma-norma sosial bisa dievaluasi sekaligus dikritisi. Kebebasan berekspresi seperti itu ternyata mampu memperbarui nilai-nilai serta etika yang telah ada di masyarakat.
“Mungkin perlu Hari ‘Gila’ Nasional sehingga ada pembaharuan etika dan nilai-nilai sosial. Melalui cerpen inilah kita bisa menyampaikan aspirasi,” urainya.
Sementara itu Ana Nadhya Abrar mengatakan melalui cerpen nilai-nilai kemanusiaan bisa dibangkitkan kembali. Tulisan Asef dalam cerpennya ini menyuarakan suara manusia secara umum, seperti masalah hutang, cinta hingga BLT atau Bantuan Langsung Tunai.
“Cerpen ini sekaligus merangsang kita untuk mencari dan membaca sumber lainnya, seperti Al Quran,” tutur Abrar.
Asef Saeful Anwar lahir di Cisanggarung, Losari, Cirebon. Ia belajar menulis di Jurusan Sastra Indonesia serta Pascasarjana Ilmu Sastra Fakultas Ilmu Budaya UGM. Aktif menulis cerpen, esai, dan sajak. Saat ini Asef juga menjadi staf di Pusat Kebudayaan UGM.
Pusat Kebudayaan UGM sekarang ini hendak mengembangkan perannya agar tidak sekadar menjadi lembaga yang berperan sebagai pusat riset dan analisis budaya, tetapi juga sebagai pusat dokumentasi, pusat kreasi, dan pusat legitimasi. (Humas UGM/Satria)