YOGYAKARTA – Perguruan tinggi di Indonesia diharapkan melakukan internasionalisasi pendidikan dengan menjalin banyak kerja sama internasional dalam bentuk kolaborasi riset, pertukaran mahasiswa dan membuka program pendidikan internasional. Hal itu menjadi strategi bagi perguruan tinggi nasional dalam meningkatkan kualitas akademik dan reputasi internasional. Apabila ini tidak dilakukan, dipastikan dalam 30 tahun kedepan perguruan tinggi akan terus tertinggal jauh dan hanya melahirkan lulusan yang minim keahlian dan sulit diterima di pasar kerja internasional.
Demikian yang mengemuka dalam seminar “Internasionalisasi Perguruan Tinggi, Strategi dalam Menghadapi Tantangan Global”, Kamis (5/9). Seminar yang diprakarsai oleh Fakultas Ilmu Sosial dan Politik (Fisipol) UGM ini menghadirkan pembicara kunci Wakil Rektor Bidang Kerja Sama dan Alumni Universitas Gadjah Mada, Prof. Ir. Dwikorita Karnawati, M.Sc., Ph.D., dan 3 pembicara lainnya diantaranya Vice-President Intenational and Outreach, Australian National University, Dr. Erik Lithander, dan pengelola Internasionalisasi Mahidol University, Thailand, Puwat Charukamnoetkanak.
Wakil Rektor Bidang Kerja Sama dan Alumni Universitas Gadjah Mada, Prof. Ir. Dwikorita Karnawati, M.Sc., Ph.D., mengatakan alasan perguruan tinggi untuk melakukan internasionalisasi dalam rangka menyiapkan tenaga kerja produktif yang handal dalam penguasaan ilmu pengetahaun dan teknologi. Pasalnya peluang bonus demografi yang akan dimulai pada tahun 2020, harus mampu didorong untuk menggerakkan pembangunan bangsa di segala bidang. “Apabila peluang bonus demografi tidak didorong dalam pembangunan ekonomi maka kita akan terus tertinggal jauh,” ujarnya.
Rita, demikian ia akrab disapa, mengatakan kerja sama perguruan tinggi dengan mitra nasional dan internasional merupakan sebuah keniscayaan. Kemampuan daya saing para lulusan dalam pengusaan iptek dapat dicapai dengan menjalin kerja sama dengan banyak mitra internasional tersebut. Di samping itu, kerja sama yang lebih kongkrit dalam mengadvokasi kebijakan pemerintah dan menghilirasi produk riset ke industri juga menjadi salah satu peran penting perguruan tinggi di tanah air.
Universitas Gadjah Mada, kata Rita, menargetkan tahun 2025 UGM menjadi universitas nasional yang berkelas dunia. Untuk mencapai target tersebut UGM terus mengembangkan inovasi program pendidikan, riset dan pengabdian masyarakat dengan menggandeng banyak mitra baik dalam dan luar negeri.
Disampaikan Rita, kerjasama internasional yang dilakoni oleh UGM ini melibatkan berbagai perguruan tinggi ternama di tingkat regional dan internasional. Saat ini UGM mengeloa sebanyak 286 prodi dari program S1, S2, dan S3 dan menampung hampir 57 ribu mahasiswa dengan 2.416 tenaga pengajar. “Khusus di bidang internasionalisasi pendidikan UGM sendiri sudah membuka 9 prodi kelas internasional,” katanya.
Eric Lithander sependapat dengan Rita, menurutnya tantangan perguruan tinggi di masa mendatang adalah memperluas pastisiapai mereka dalam kolaborasi kerja sama internasional. Menurutnya, kualitas sebuah perguran tinggi tercermin dari para lulusan yang dihasilkan. Dia mencontohkan apa yang dihadapi 80% dari perusahaan di Thailand yang mengalami kesulitan mengisi pekerjaan bagi lulusan perguraun tinggi dan menganggap mereka lulusan perguruan tinggi hanya memiliki keterampilan dasar. Sementara di Tiongkok, hanya 4% pengangguran rata-rata mereka yang berpendidikan Sekolah Dasar, adapun pengangguran dari lulusan perguruan tinggi angkanya jauh lebih sekitar 16 %. (Humas UGM/Gusti Grehenson)