![](https://ugm.ac.id/wp-content/uploads/2014/06/1606141402904105873012630-680x510.jpg)
YOGYAKARTA – Beredarnya daging babi yang menjadi campuran dalam olahan daging sapi menimbulkan keresahan pada sebagian besar masyarakat DIY. Belum adanya pengawasan dari hulu ke hilir terhadap peredaran daging babi di DIY menjadi salah satu penyebab peredaran daging babi menjadi tidak terkontrol. “Dari 109 sampel hasil olahan pangan asal hewan yang kita uji, 18 positif mengandung babi,” kata drh. Nasirudin, MSc, pegawai Balai Besar Veteriner Wates Yogyakarta dalam menyampaikan hasil penelitian yang pernah dilakukan lembaganya pada seminar “Pengawasan Peredaran Daging Babi sebagai Hasil Olahan Pangan Asal Hewan”, Sabtu (14/6) lalu di Auditorium Fakultas Kedokteran Hewan UGM.
Produk pangan yang menjadi sampel pengujian adalah bakso, abon, dendeng, nugget, sate, dan sosis. Sedangkan untuk bahan non-pangan, pihaknya menguji produk MBM (Meat and Bone Meal) dan gelatin. “Dalam melakukan pengujian, kami mendapatkan sampel dari pelayanan aktif, pasif, maupun operasi pasar,” tuturnya.
Untuk mengawasi peredaran daging babi, menurut Nasirudin perlu dilakukan surveilans secara konsisten, baik monitoring maupun tindakan. Dengan demikian, pemalsuan daging dapat ditekan. “Pengawasan peredaran bahan pangan asal hewan di lapangan harus terus dilakukan agar pemalsuan daging dapat dicegah,” tandasnya
Kepala Sie Diagnostik Kehewanan Dinas Pertanian DIY, drh. Untung Suharto memaparkan temuannya pada tahun 2013, juga menemukan 31 sampel positif dari 175 sampel yag diuji. “17,71% sampel yang kita uji positif mengandung daging babi,” paparnya. Sementara itu, varian sampel yang banyak ditemukan mengandung daging babi adalah daging segar dan bakso,” katanya.
Untung menandaskan, setelah melakukan pengujian dan mendapatkan hasil, dinas provinsi segera melakukan tindkan surveilans, yakni penyidikan dan pengawasan melalui koordinasi dengan Kabupaten/Kota. “Kami secara konsisten terus melakukan surveilans,” imbuhnya.
Pegiat Lembaga Perlindungan Konsumen Yogyakarta, Dwi Priyono, mengungkapkan isu peredaran daging babi ini adalah hak konsumen. Menurutnya, hak-hak konsumen dalam UU Perlindungan Konsumen, salah satunya adalah hak atas informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang atau jasa. “Dalam kasus ini, konsumen tidak mendapatkan haknya atas informasi produk yang dikonsumsi,” paparnya.
Menurutnya, perlindungan konsumen atas isu peredaran daging babi tidak serta merta dapat diselesaikan dengan surveilans dan tindakan. Pendidikan konsumen, pemerdayaan masyarakat, serta advokasi perlu dilakukan agar hak-hak konsumen dapat terjaga. (Humas UGM/Faisol)