![](https://ugm.ac.id/wp-content/uploads/2014/06/1306141402633119412151025-765x510.jpg)
YOGYAKARTA – Dekan Fakultas Peternakan (Fapet) Universitas Gadjah Mada, Prof. Dr. Ali Agus, menegaskan salah satu persoalan serius yang dihadapi presiden RI untuk 5-10 tahun mendatang adalah mencukupi kebutuhan pangan penduduk terutama telur, daging, dan susu yang berasal dari hewan ternak. Karenanya, kebijakan pengembangan industri peternakan berbasis pedesaan perlu didorong agar bisa mencapai target swasembada daging yang hingga sampai saat ini belum pernah terwujud. “Populasi sapi nasional berkitar 14 juta ekor, setiap tahunnya hanya menghasilkan 2 juta ekor anak sapi. Tapi yang siap dipotong sekitar satu juta ekor, itu pun tersebar dimana-mana. Sedangkan kebutuhan bisa mencapai 1,5 juta ekor,” kata Ali Agus usai membuka Lustrum ke-IX Fakultas Peternakan, Jumat (13/6).
Ali Agus menjelaskan saat ini setiap tahun pemerintah rata-rata mengimpor sekitar 300 ribu hingga 500 ribu ekor sapi, bahkan daging impor mencapai 150 ribu hingga 200 ribu ton. Besarnya jumlah impor daging sapi ini disebabkan pasokan daging sapi lokal belum bisa memenuhi kebutuhan masyarakat kelas menengah yang terus meningkat. “Kemampuan daya beli masyarakat kian meningkat, jika sebelumnya lebih banyak mengkonsumsi karbohidrat saat ini sudah beralih ke protein hewani,” katanya.
Tingginya tingkat kebutuhan masyarakat ini menurut Ali Agus tidak diantisipasi dengan baik oleh Pemerintah. Dia menilai pemerintah lalai dan tidak memiliki komitmen untuk memajukan industri peternakan. Padahal salah satu kebijakan yang diperlukan adalah penyediaan dan kepastian lahan untuk zona peternakan. “Di Australia, ada komitmen politik pemerintah, dukungan perbankan serta bantuan teknologi. Alokasi lahan juga sangat jelas,” imbuhnya.
Menurutnya, industri peternakan di Indonesia akan bisa tumbuh dan berkembang apabila ada dukungan politik dari pemerintah. Dia mengusulkan adanya program pertanian terpadu di pedesaaan yang berbasis peternakan. Hanya saja, program ini hanya dilakukan di Pulau Jawa. Sementara di luar Pulau Jawa, seperti Kalimantan, Sulawesi, NTT, NTB dan Papua, menggunakan pola peternakan ekstensif. “Misalnya daerah bekas tambang, bisa digunakan untuk peternakan. Yang penting ada kepastian lahan,” ujarnya.
Dosen Peternakan UGM, Ir. Ambar Pertiwiningrum, M.Si., Ph.D., selaku ketua Lustrum IX Fapet UGM, mengatakan dalam waktu dekat Fapet UGM akan melaksanakan Congress of Asian, Australasian Animal Production yang membahas isu-isu peternakan di tingkat Asia Pasifik. Pertemuan tersebut akan menghadirkan pakar peternakan dari seluruh dunia dalam menyampaikan pandangan dan memberikan masukan kepada pemerintah terkait di bidang industri peternakan. (Humas UGM/Gusti Grehenson)