
Penggunaan variasi bahasa banyak ditemukan dalam berbagai pertemuan formal maupun wacana rapat di Indonesia. Selain menggunakan bahasa Indonesia, variasi bahasa lain yang kerap muncul adalah bahasa Arab, bahasa Jawa, dan bahasa Inggris.
“Penggunaan variasi bahasa sebagai wujud religiusitas, penghormatan, kesopanan, maupun keakraban,” kata Dra. Bernardine Ria Lestari, staf pengajar Universitas Sanata Dhrama (USD) Yogyakarta, dalam ujian terbuka program doktor di Fakultas Ilmu Budaya (FIB) UGM, Kamis (22/5).
Dalam kesempatan itu Ria mempertahankan disertasi berjudul “Wacana Rapat Dinas: Kajian Sosiopragmatik dan Kewacanaan (Studi Kasus Rapat Dinas di Universitas Sanata Dharma Yogyakarta dan DPRD DIY). Bertindak sebagai promotor, Prof. Stefanus Djawani, M.A., Ph.D., Prof.Dr. Soepomo Poedjosoedarmo, dan Prof.Dr. I Dewa Putu Wijana, S.U., M.A.
Dari hasil penelitian yang dilakukan dalam rapat-rapat yang diadakan di DPRD DIY dan USD Yogyakarta diketahui bahasa Arab banyak dipakai saat membuka dan menutup pertemuan. Penggunaan bahasa Arab dipergunakan dalam doa awal maupun akhir tuturan untuk menunjukkan religiositas peserta rapat.
“Dalam rapat di DPRD DIY banyak dijumpai pemakaian bahasa Arab di awal dan akhir acara. Sementara di USD variasi bahasa Arab tidak digunakan sama sekali karena dalam membuka dan menutup rapat pimpinan rapat menunjuk salah satu peserta untuk memimpin doa dalam bahasa Indonesia,” paparnya.
Alih kode dari bahasa Indonesia ke bahasa Jawa dipergunakan sebagai bentuk penghormatan terhadap pihak eksekutif dan anggota DPRD dalam rapat komisi. Sementara itu, di tingkat universitas tuturan bahasa Indonesia lebih banyak dipergunakan karena keragaman peserta rapat.
“Sementara dalam rapat di tingkat program studi banyak digunakan tuturan bahasa Jawa. Tuturan bahasa Jawa juga digunakan untuk menunjukkan kekaraban,” terangnya.
Ria menyebutkan variasi tuturan bahasa Inggris tidak begitu banyak dipergunakan dalam rapat di DPRD DIY maupun Universitas Sanata Dharma Yogyakarta. “Tuturan yang dipergunakan hanya berbentuk kata saja karena dalam rapat dirasa sulit mencari padanan istilah bahasa Inggris tersebut ke dalam bahasa Indonesia,” ujarnya. (Humas UGM/Ika)