![](https://ugm.ac.id/wp-content/uploads/2014/04/2504141398392867104992503-825x440.jpg)
YOGYAKARTA – Laju pertumbuhan penduduk yang masih tinggi membutuhkan kebijakan tepat dan strategis dalam mengatasi persoalan pembangunan ekonomi pada 25-35 tahun mendatang. Angka laju pertumbuhan penduduk sekitar 2,5% pertahun, di satu sisi menambah penduduk usia produktif di masa depan. Namun di sisi lain, hal itu bisa menghambat pembangunan ekonomi dengan munculnya population aging atau penuaan populasi. “Permasalahan population aging pada masa depan juga mengancam Indonesia, seperti yang terjadi pada Singapura, Jepang, dan Thailand saat ini,” kata pakar Demografi dari Crawford School of Public Policy, Australia National University, Prof. Peter McDonald dalam kuliah umum bertajuk “Demographic Bonus and The Future of Indonesia”, Jumat (25/4), di Ruang Seminar Fisipol UGM.
Peter juga mengingatkan, mengatasi population aging ini memerlukan kebijakan yang tepat dan strategis mengenai laju kependudukan sejak saat ini. Persoalan lain disoroti Peter adalah ketidakmerataan persebaran penduduk yang masih terjadi di Indonesia. “Pertumbuhan penduduk terbesar berada di Jawa, sementara tingkat kesuburan di daerah lain masih rendah,” tambahnya.
Namun demikian, lanjut Peter, Indonesia bisa mengadopsi model urbanisasi in situ yang telah dipraktekkan China dalam mengelola urbanisasi. “Akan ada pengurangan perbedaan demografis daerah pinggiran dengan daerah inti,” ujarnya.
Peneliti Pusat Studi Kependudukan dan Kebijakan (PSKK) UGM, Prof. Drs. Muhadjir Darwin, MPA., Ph.D, mengatakan dua pertiga penduduk Indonesia saat ini berada pada usia produktif. Meski demikian, bonus demografi tersebut tidak lantas bisa dianggap sebagai bonus semata, namun juga harus diperhatikan seberapa produktifnya mereka. “Angka pengangguran kita yang tinggi juga tidak akan menguntungkan,” ujarnya.
Lebih jauh Muhadjir menjelaskan, setelah mengalami bonus demografi, diperkirakan Indonesia akan mengalami over aging, dimana jumlah penduduk usia tidak produktif jauh lebih besar. “Inilah yang dialami Singapura, sehingga saat ini pemerintahnya mengendorkan program pengurangan fertilitas,” paparnya.
Elan Satriawan, M.Ec., Ph.D, Dosen Fakultas Ekonomika dan Bisnis UGM mengatakan potensi bonus demografi seharusnya menjadi keuntungan bagi Indonesia jika penduduk yang masuk dalam kategori usia produktif mendapatkan pendidikan yang bagus. “Ini bukan lagi soal labour supply, tapi sudah menyangkut labour productivity,” jelasnya.
Menurut hematnya, petumbuhan ekonomi seharusnya juga mampu turut serta menumbuhkan lapangan kerja. Tapi pertumbuhan ekonomi yang dimiliki Indonesia tidak linier dengan pertumbuhan lapangan kerja. Selain itu, kualitas pekerja juga harus lebih ditingkatkan. “Pekerja kita secara umum, masih kurang kompetitif dibandingkan Thailand, China, dan Singapura,” pungkasnya. (Humas UGM/Faisol)