Keberhasilan penghutanan pesisir di Kawasan Parangtritis ternyata telah memunculkan ancaman bencana agrogenik maupun urbanogenik. Hal ini disebabkan penghutanan pesisir pada zona gumuk pasir aeolian aktif dengan barkhannya (barchan) menganut pemahaman etika biosentrisme dan tidak mempertimbangkan nilai hakiki barkhan sebagai komponen fisik lingkungan.
Pemahaman yang digunakan adalah adanya lahan kosong, gersang, panas, pasir beterbangan, maka lahan itu perlu dihutankan. Selain itu ada pula kecenderungan kepada pemahaman antroposentris, karena hutan pesisir yang dibuat itu menjadi instrumen untuk melindungi kepentingan manusia dan cenderung lupa akan hak hidup barkhan.
“Kehadiran barkhan sebenarnya hanya di pesisir tanpa rintangan yang berupa vegetasi bukit, vegetasi, atau bangunan,” papar Prof. Dr. Sunarto, M.S pada pidato pengukuhan Guru Besar Fakultas Geografi UGM, Rabu (2/4) di Balai Senat UGM. Pada kesempatan itu Sunarto menyampaikan pidato pengukuhan Guru Besar dengan judul “Geomorfologi dan Kontribusinya dalam Pelestarian Pesisir Bergumuk Pasir Aeolian dari Ancaman Bencana Agrogenik dan Urbanogenik”.
Sunarto menjelaskan rusaknya zona gumuk pasir aeolian aktif di pesisir Kawasan Parangtritis akibat penghutanan pesisir akan menimbulkan beberapa dampak, seperti matinya barkhan dan pesatnya ekspansi permukiman. Matinya barkhan berarti hilangnya muka-gelincir, yang berakibat terhentinya kegiatan wisata minat khusus seluncur pasir. Dampak ikutan lainnya adalah pesatnya ekspansi permukiman di zona gumuk pasir aeolian aktif atau biasa disebut urbanogenik.
“Pesatnya ekspansi permukiman akan mempercepat matinya barkhan, karena rintangannya tidak hanya vegetasi, tetapi juga bangunan rumah. Jadi, penghutanan pesisir ini telah memunculkan ancaman bencana agrogenik serta urbanogenik sekaligus,” kata Sunarto yang pernah menjabat Kepala Pusat Studi Bencana (PSBA) UGM itu.
Dengan kondisi ini, keberhasilan penghutanan pesisir ini masih perlu ditingkatkan dengan mempertimbangkan persebaran keruangan, baik persebaran keruangan barkhan maupun persebaran keruangan permukiman. Disamping itu karena barkhan hanya terbentuk pada koridor angin, penghutanan tidak perlu dilakukan pada koridor angin agar barkhan terhindar dari ancaman bencana agrogenik.
Menurut Sunarto jika koridor angin ini dihindarkan dari penghutanan, maka perlu juga koridor angin ini dihindarkan dari ekspansi permukiman penduduk. Hal ini perlu dilakukan agar koridor angin itu tidak tertutup oleh hutan dan bangunan rumah, sehingga tiupan angin dari laut tetap lancar tanpa rintangan. Tak hanya itu, barkhan di koridor angin Parangkusumo tetap lestari, terhindar dari ancaman bencana agrogenik maupun urbanogenik. (Humas UGM/Satria)