YOGYAKARTA – Perguruan tinggi membutuhkan dukungan kebijakan dari pemerintah dan industri untuk memperkuat kemandirian nasional di bidang obat kesehatan. Pasalnya hampir 95% bahan baku obat yang beredar di masyarakat berasal dari luar, padahal Indonesia memiliki keanekragaman hayati yang sangat besar sebagai bahan baku obat. “Sampai saat ini kemandirian obat tradisional masih sangat rendah sekitar 95% kita masih impor dari luar. Kendala utama yang kita hadapi pada masalah investasi. Karena biaya pengembangan obat cukup besar,” kata Dekan Fakultas Farmasi UGM, Prof. Dr. Subagus Wahyuono, M.Sc., Apt., Jumat (14/3), usai mendampingi kunjungan Badan POM RI ke UGM.
Menurut Subagus, obat tradisional di tanah air memang belum bisa bersaing dengan obat dari luar, bahkan hanya mampu beredar di dalam negeri saja. Namun begitu, pengembangan obat baru, obat tradisional dan obat sintetik asli dari Indonesia memiliki peluang yang cukup besar. Dia mencontohkan Korea memiliki ginseng yang khas dri negaranya, begitu pun Jepang dengan bahan baku obat Ginkgo biloba. Di Indonesia sendiri banyak sumber bahan baku obat yang bisa digali. “Indonesia punya keunggulan yang seharusnya sudah diuji tuntas kemudian sudah diuji secara klinis,” ujarnya.
Fakultas Farmasi UGM, kata Subagus, tengah mengembangkan bahan baku obat dari mikroorganisme yang hanya ada di Indonesia. Meski tidak menyebutkan nama jenis organisme tersebut, menurutnya mikroorganisme tersebut bisa dijadikan bahan baku obat antibiotik. “Kita butuh dukungan dari pemerintah untuk kemudahan dalam produksi,” katanya.
Tidak hanya itu, peneliti Farmasi UGM juga melakukan penelitian bahan obat untuk penyakit degeneratif yang berasal dari tanaman herbal yang bisa membantu mencegah penyumbatan pembuluh darah kapiler di otak agar tidak terjadi stroke.
Kepala Badan POM RI, Dr. Roy Sparringa, M.APp.,Sc., menegaskan pihaknya akan menggandeng UGM untuk kerjasama pengembangan bahan baku obat terutama untuk bahan obat tradisional, herbal, dan bahan baku obat kosmetik. “Kita juga membutuhkan riset untuk mendukung pengawasan lewat rapid test, menyiapkan laboratorium forensik obat palsu, dan bahan kimia obat,” katanya. (Humas UGM/Gusti Grehenson)