![](https://ugm.ac.id/wp-content/uploads/2014/03/1303141394698337925592296-623x510.jpg)
Lebih dari dua bulan sistem Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) dijalankan. Namun masih banyak masyarakat yang belum memahami program penjaminan kesehatan secara universal ini. Bahkan kebingungan juga terjadi di kalangan tenaga kesehatan.
Wakil Menteri Kesehatan RI Prof. dr. Ali Ghufron Mukti, M.Sc., Ph.D., mengatakan pihaknya telah melakukan sosialisasi secara bertahap program JKN ke masyarakat dan tenaga kesehatan serta pihak terkait. Meskipun demikian, dalam pelaksanaannya banyak yang belum memahami karena kompleksitas permasalahan di lapangan.
“Sebetulnya sudah banyak dilakukan sosialisasi. Namun dengan variasi dan luasnya masyarakat kita, ditambah dengan kompleksitas masalah ini sehingga tidak mudah dan perlu waktu untuk sosialisasi,” paparnya usai memberikan keynote speech dalam seminar “Pencapaian dan Tantangan 3 Bulan Pelaksanaan JKN di Indonesia: Input Menjuju Perbaikan”, Kamis (13/3) di Fakultas Kedokteran UGM.
Guna mengatasi kebingungan dan ketidakpahaman tersebut Kementrian Kesehatan tengah menyusun program sosialisasi yang disesuaikan dengan sasaran. Sosialisasi JKN yang diberikan untuk tenaga kesehatan akan berbeda dengan masyarakat awam. Misalnya untuk dokter sosialisasi terkait masalah clinical pathways, kualitas layanan, INA-CBG’s, etika profesionalisme, rekam medis dan yang lainnya. Sementara masyarakat awam diberikan sosialisasi seputar hak, kewajiban, cara mendaftar, penyampaian keluhan, sistem dan prosedur layanan JKN.
“Sosialisasinya berbeda untuk dokter dengan masyarakat awam. Ini masih dalam proses untuk bisa disosialisasikan dengan sasaran dan cara yang tepat. Anggaran ‘kan baru turun 2014, sosialisasi kita kerjasamakan dengan berbagai pihak,” urai Ghufron.
Terkait sejumlah keluhan masyarakat yang harus kembali menjalani pemeriksaan ke layanan primer dengan diberlakukannya program JKN, Ghufron menjelaskan hal itu terjadi karena kurangnya pengetahuan masyarakat akan manfaat program JKN. Padahal dengan program tersebut masyarakat nantinya akan mendapatkan jaminan kesehatan yang mencakup pelayanan promotif, kuratif, dan rehabilitatif yang lebih terjangkau dan berkelanjutan.
Ghufron menyampaikan di Korea masyarkat harus membayar 60 persen biaya untuk pengobatan rumah sakit rujukan tipe A. Sedangkan masyarakat di Jepang harus membayar sebesar 30 persen biaya pengobatan untuk mendapatkan perwatan di rumah sakit tipe A.
“Dengan desain saat ini jumlah masyarakat yang berobat di rumah sakit tipe A berkurang, ini sesuai dengan desain kita. Kita inginnya rumah sakit rujukan bisa bekerja, pasien lebih sedikit dan dokter lebih konsentrasi menangani pasien sehingga pasien mendapat pelayanan dan informasi kesehatan yang lebih bagus. Maka layanan ini kita geser ke layanan primer yang tentunya jauh lebih murah dan kontinuitas terjaga,” ujarnya.
Lebih lanjut disampaikan Ghufron, nantinya akan ada dokter spesialis yang turun ke lapangan untuk mentransfer pengetahuan, dan keterampilan kepada dokter di layanan primer. Selain itu, dokter spesialis juga akan memberikan rujukan balik kasus yang sebelumnya ditangani ke dokter umum layanan primer.
Sementara Dekan Fakultas Kedokteran UGM, Prof. Dr. dr. Teguh Aryandono, Sp.B(K)Onk, mengatakan dengan pemberlakuan program JKN menuntut kesiapan dokter di wilayah layanan primer. Pasalnya mereka diberikan tanggung jawab besar untuk memberikan layanan kesehatan terhadap pasien yang tadinya berobat di rumah sakit rujukan.
“Dokter umum ilmunya hanya terbatas, kecil. Kompetensinya harus ditingkatkan karena sekarang diberi tanggung jawab besar, pasien kasus ringan atau berat semua dikembalikan kesini,” tuturnya.
Untuk mendorong keberhasilan JKN dengan pelayanan yang berkualitas Fakultas Kedokteran UGM, lanjutnya, Teguh menyiapkan kurikulum untuk meningkatkan kompetensi dokter umum. Selain itu, ia juga menyesuaikan sejumlah program pembelajaran.
“Sebenarnya kurikulum di FK sudah cukup, tapi ada penambahan sedikit dan penyesuaian program-program. Misalnya penanganan pascastroke, trauma yang bisa di tangani di daerah, operasi kecil yang tidak darurat,” sebut Teguh.
Disamping menyiapkan kurikulum untuk mahasiswa kedokteran, FK UGM juga beruapaya meningkatkan kompetensi lulusan dokter. Salah satunya dengan memberikan pelatihan tambahan bagi dokter umum bagi dokter umum di wilayah DIY, Klaten dan Kebumen.
“Angkatan pertama ini diikuti sekitar 214 orang dan sudah berjalan 40 minggu. Setiap Sabtu diundang untuk diberikan pelatihan menambah pengetahuan mereka supaya bisa menangani pasien dari dokter spesialis,” terangnya. (Humas UGM/Ika)