Kemacetan lalu lintas saat ini telah melanda hampir semua kota di Indonesia. Berbagai upaya telah dilakukan untuk mengatasi hal tersebut. Beberapa opsi untuk mengatasi masalah kemacetan diantaranya dengan membangun jalan baru atapun jalan tol, membangun fly over dalam kota, dan membangun sistem angkutan umum massal.
Membangun jalan tol perkotaan sangat menguntungkan dari segi finansial karena sistem pembayarannya memberikan kontribusi ke Pendapatan Asli Daerah (PAD). Sementara itu, penyelenggaraan sistem angkutan umum massal dinilai memakan biaya tinggi. Selain itu, pemasukan pendapatan dari penumpang pun belum tentu menutup pembiayaan yang dikeluarkan. Opsi tersebut menjadi pilihan yang dilematis.
Menyitir pendapat Professor Dietrich Braess (1969), ahli matematik dari Ruhr Universitaet Bochum Jerman; Prof. Dr.-Ing. Ir. Ahmad Munawar, M.Sc, Gurubesar Transportasi Jurusan Teknik Sipil dan Lingkungan UGM mengatakan bahwa dalam penelitian berjudul “Ueber ein Paradoxon aus der Verkehrsplanung” dinyatakan bahwa pembangunan jalan baru di perkotaan akan mendorong pengemudi (kendaraan pribadi) semakin banyak melakukan perjalanan sehingga akan menyebabkan kemacetan semakin bertambah.
“Oleh karena itu, pembangunan jalan tol dikhawatirkan tidak akan mengurangi kemacetan, namun sebaliknya akan menambah kemacetan yang terjadi. Ini yang dikenal dengan Braess’s Paradox,” ujar Ahmad Munawar, di Fakultas Teknik UGM, Senin (3/3).
Sementara itu, katanya, banyak kota telah merencanakan sistem angkutan umum massal namun sebagian besar belum terlaksana dengan baik. Bahkan menyitir pendapat Prof. Shigeru Morichi (2005) dari University of Tokyo Jepang, dinyatakan bahwa kondisi angkutan umum perkotaan di sebagian besar kota-kota di Asia sudah sangat buruk. Dengan demikian, untuk memperbaikinya diperlukan waktu yang cukup lama, bertahap, dan biaya yang besar.
“Inilah yang menyebabkan sebagian besar kota di Indonesia enggan melaksanakan perbaikan tersebut, karena biaya yang tinggi dan tidak memberikan keuntungan finansial bagi daerah tersebut,” papar Ahmad Munawar, alumnus Ruhr Universitaet Bochum, Jerman.
Jika segi finansial jangka pendek menjadi pertimbangan utama, Munawar menandaskan, sistem angkutan umum massal tidak akan dapat dibangun. Sebab, membangun sistem angkutan massal mestinya dilakukan dengan mempertimbangan keuntungan ekonomi secara menyeluruh.
“Mestinya ya, jika perjalanan menjadi lancar serta biaya perjalanan menjadi lebih murah, tentu menguntungkan bagi penduduk kota tersebut. Bagaimanapun penyelenggaraan sistem angkutan umum massal bukan profit oriented namun public service. Karena itu perbaikan sistem angkutan umum massal menjadi solusi tepat dan mutlak guna mengatasi kemacetan lalulintas perkotaan dibanding pembangunan jalan tol dalam kota,” tuturnya. (Humas UGM/ Agung)