Perubahan iklim global yang mendorong terjadinya perubahan cuaca, curah hujan, meningkatnya temperatur udara, dan dugaan mencairnya es di kutub mulai memperlihatkan pengaruhnya. Fenomena itu dapat dilihat dengan meningkatnya permukaan air laut dan tingginya gelombang, sehingga banyak menimbulkan munculnya abrasi pantai dengan kerugian yang sangat serius. Hilangnya vegetasi mangrove dan vegetasi formasi pantai semakin mempercepat kerusakan tersebut.
Hal ini pula yang terjadi di pesisir pantai Jepara. Abrasi yang terjadi dalam 10 tahun terakhir ini tidak saja menyebabkan munculnya kerusakan fisik dalam bentuk perubahan garis pantai. Pengikisan tersebut juga menurunkan daya dukung pantai dengan hilangnya 960 hektar tambak produktif yang ada di sepanjang pantai, khususnya di daerah Tanggul Tlare.
“Hilangnya area tambak ini menyebabkan banyak orang kehilangan mata pencaharian dan mendorong terjadinya proses pemiskinan pada masyarakat yang hidup dan bekerja di pesisir pantai,” papar Ir. Sri Danarto ahli reklamasi lahan di Fakultas Kehutanan UGM, Selasa (25/2).
Terkait kondisi inilah maka Kelompok Studi Rehabilitasi Tambang dan Kawasan Pesisir Fakultas Kehutanan UGM mencoba membantu mengatasi terjadinya abrasi pantai di sana. Tim ini terdiri dari Ir. Sri Danarto, M.Agr; Ir. Widaryanti Wahyu Winarni., MP; serta Dr. Winastuti, MP. Ia menambahkan abrasi pantai kemungkinan dapat sedikit dihambat jika formasi mangrove dan vegetasi formasi pantai tidak dirusak.
“Kerusakan vegetasi-vegetasi pesisir tersebut memberi indikasi perlunya langkah-langkah antisipatif yang mengarah pada ketersediaan kayu dan mendorong peningkatan produktivitas lahan di sekitar tempat hidupnya,” katanya.
Sementara itu Dr. Winastuti mengatakan tim Fakultas Kehutanan menawarkan beberapa solusi. Solusi yang ditawarkan itu antara lain perlunya vegetasi yang tersusun atas jenis pohon bertajuk rapat, tahan terhadap salinitas tinggi, dan bersifat lentur untuk penahan angin serta mengurangi daya dobrak ombak.
“Untuk ini dipilih jenis cemara laut (Casuarina equisetifolia var equisetifolia) dan cemara udang (Casuarina equisetifolia var incana) yang memenuhi persyaratan jenis vegetasi tersebut di atas,” imbuh Winastuti.
Sementara itu untuk meningkatkan daya dukung formasi penahan angin, memacu pemeliharaan dan keamanan vegetasi yang bersangkutan, serta mendorong rasa kepemilikan masyarakat dikembangkan model pemberdayaan masyarakat. Hal itu mendorong masyarakat untuk bertani di lahan cemara dengan teknik agroforestry MLP (multi layer production) guna mengisi lahan di bawah vegetasi dengan jenis-jenis yang produktif dan bisa dimanfaatkan masyarakat. Peningkatan daya dukung pesisir juga dilakukan dengan mengisi halaman dengan jenis-jenis pohon yang produktif menghasilkan buah, kayu, dan non kayu, yang mendorong untuk terciptanya mata pencaharian baru.
“Ke depan kita tidak hanya membantu bibit dan pelatihan tetapi juga akan melalui KKN tematik rehabilitasi lahan secara bertahap yang berfokus pada peningkatan daya dukung kawasan pesisir,” pungkasnya. (Humas UGM/Satria)