YOGYAKARTA – Kondisi kulitas udara di wilayah DIY dari hasil pantauan Tim Pusat Studi Bencana (PSBA) UGM masih belum membaik setelah terkena dampak debu vulkanik erupsi Gunung Kelud. Tingkat konsentrasi partikel debu vulkanis di beberapa lokasi masih sangat tinggi melebihi jauh di atas ambang batas baku mutu udara ambien. Meskipun telah dilakukan pembersihan endapan debu di permukaan tanah dan jalan-jalan aspal namun tingkat kadar debu di udara masih tinggi karena bersumber dari sisa-sisa material debu yang menempel di dedaunan, atap rumah, dan dinding bangunan.
Anggota Tim Manajamen Bencana UGM, Prof. Dr. Sudibyakto mencontohan lingkungan kampus UGM dan simpang empat Kentungan di Jalan Kaliurang, konsentrasi debit debu vulkanik masih sangat tinggi jauh melebih ambang batas baku mutu. “Hampir tiga kali lipat konsentrasinya,” paparnya kepada wartawan usai menyampaikan hasil pengujian kualitas udara pasca letusan Gunung Kelud di kantor PSBA UGM, Jumat (21/2).
Di lingkungan UGM, kata Sudibyakto, tingkat konsentrasi debu vulkanik mencapai 1.082 mikro gram/meter kubik. Padahal batas baku mutu hanya 230 mikro gram/meter kubik. Salah satu peyebabnya adalah masih tingginya endapan debu yang ada di pepohonan. Sementara jumlah karbon monooksida (CO), sulfur dioksia (SO2) dan nitrogen oksida (NO2) dalam kondisi normal.
Kondisi yang sama di tempat lainnya seperti di kawasan titik nol kilometer Yogyakarta, Balai Kota, dan kawasan Kotabaru. Sudibyakto menuturkan pengendalian kualitas udara akibat debu vulkanis ini dapat dilakukan dengan penyemprotan air secara menyeluruh dan seretak serta berkesinambungan agar tidak membahayakan kesehatan masyarakat.
Akibat kadar debu vulkanik yang sangat tinggi ini juga menyebabkan suhu udara di kota Yogyakarta meningkat tajam. Rata-rata suhu meningkat 4 hingga 6 derajat celcius. Bila rata-rata harian hanya berkisar 26-28 derajat celcius, pasca sebaran debu vulkanis, kenaikan suhu udara menjadi 32-36 derajat celcius.
Kepala Dinas Kesehatan DIY, Arida Oetami, mengatakan debu vulkanik sangat membahayakan bagi kesehatan. Pasalnya debu tersebut mengandung berbagai macam unsur logam seperti titanium, mangan, magnesium, silika, dan besi. Dampak gangguan kesehatan yang ditimbulkan berupa iritasi mata, iritasi hidung, radang tenggorokan dan gangguan pernafasan.
Hingga hari ini, kata Arida, pihaknya menemukan 1.315 penderita penyakit ispa, 165 pasien terkena iritasi mata, 115 pasein penyakit radang tenggorokan, dan 44 kasus kecelakaan lalu lintas. “Jika dalam satu pekan ke depan hujan tidak merata dan debu betebaran, jumlah penderita terus meningkat,” katanya.
Kepala Seksi Data dan Informasi BMKG Yogyakarta, Toni Agus Widjaya mengatakan satu-satunya cara untuk membersihkan debu vulkanis ini lewat guyuran hujan lebat. Namun begitu, peluang DIY untuk medapatkan hujan sangat bergantung dari bibit badai tropis yang ada di daerah selatan Samudera Hindia. Sementara pascaerupsi Kelud, kata Toni, DIY baru dua kali diguyur hujan. “Ada 8 pola curah hujan di wilayah DIY. Sementara DIY sudah melewati puncak curah hujan. Empat titik bibit badai tropis di sekitar wilayah Samudera Hindia diharapkan mengubah pola curah hujan di DIY,” katanya.
Jika hujan lebat tidak turun dalam satu bulan kedepan, Sudibyakto menyarankan agar tidak ada salahnya Pemprov DIY melakukan rekayasa hujan buatan. Pasalnya pada bulan April sudah memasuki masa musim kemarau. (Humas UGM/Gusti Grehenson)