YOGYAKARTA – Kepala Pusat Studi Lingkungan Hidup, Prof. Dr. dr. Hari Kusnanto, mengatakan penyakit Leptospirosis, Kolera, Diare dan Typhus merupakan ancaman penyakit yang paling sering muncul pada saat musim penghujan. Apalagi bagi daerah tertentu yang terlanda banjir. “Di musim banjir seperti ini yang justru muncul adalah leptospirosis yang ditularkan melalui kencing tikus,” kata Hari Kusnanto kepada wartawan, Kamis (30/1), menanggapi mewabahnya panyakit leptosprosis di DKI Jakarta dan Semarang serta beberapa daerah lainnya akibat bencana banjir.
Salah satu ciri penyakit leptospirosis ini menurut dokter ahli bagian kesehatan masyarakat FK UGM ini, gejalanya hampir mirip dengan demam biasa, nyeri kepala, nyeri otot, leher terasa kaku. Selain itu, sering muntah, batuk dan kelemahan pada usus yang lebih parah yang dapat berakibat kematian. “Setelah diperiksa, ada tanda seperti gagal ginjal dan gangguan liver,” katanya.
Seperti diketahui, leptospirosis disebabkan bakteri Leptospira interrogans yang bisa menular pada hewan ke manusia. Urin hewan seperti sapi, babi, anjing dan tikus yang tertular, air atau tanah tercemar merupakan sumber penularan. Tikus yang mempunyai kesempatan bergerak luas melampui batas-batas kepemilikan lahan merupakan sumber penular yang paling potensial.
Leptospirosis merupakan penyakit menular yang bisa menimbulkan risiko kematian. Hari Kusnanti menyebut penyakit ini silent killer. Dia pun menghimbau masyarakat untuk selalu waspada. Untuk mengantisipasi penularan penyakit zoonosis ini, dia menyarankan agar masyarakat selalu menjaga kesehatan dan memperhatikan kebersihan lingkungan. Hal itu dapat dilakukan dengan cuci tangan dengan sabun, menjaga kebersihan makan dan minum serta peralatan masak dapur. “Terlebih saat bencana banjir, menurut saya suplai air bersih harus selalu tersedia. Itu yang sering dilupakan orang. Air bersih untuk keperluan mencuci dan masak terutama,” katanya.
Penyakit Pasca Musim Hujan
Penyakit lain yang perlu diwaspadai memasuki peralihan dari musim penghujan menuju musim kemarau menurut Hari Kusnanto adalah penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD). DBD muncul di daerah perkotaan yang disebabkan vektor nyamuk Aedes aegypti dan Aedes albopictus. “Di perkotaan itu justru banyak kasus demam berdarah dan cikungunya. Penyakit ini sering muncul pada akhir bulan Februari dan Maret,” katanya.
Belum ada cara paling ampuh untuk memberantas penyakit ini. Pasalnya belum ditemukan obat dan vaksin untuk mengobatinya. Satu-satunya cara adalah pemberantasan jentik atau sarang nyamuk. “Jentik nyamuk harus dipantau secara periodik, kalo jentiknya hilang berarti nyamuknya berkurang,” paparnya. Fogging juga hanya memberikan solusi sementara.
Terkait dengan penelitian tim UGM melalui Eliminate Dengue Project (EDP) yang menggunakan teknologi alamiah bakteri Wolbachia untuk mengurangi populasi nyamuk Aedes aegypti, Hari Kusnanto sendiri sangat mendukung adanya kegiatan penelitian tersebut. “Idenya baik, mengurangi kelangsungan hidup nyamuk aedes aegypti dan virus demam berdarah tidak bisa hidup kalo ada Wolbachia di tubuh nyamuk,” katanya.
Sehubungan adanya penolakan sebagian warga terkait ujicoba pelepasan nyamuk ini ke rumah mereka menurut Hari sebagai hal yang lumrah. “Di Australia dan Vietnam awalnya juga ada penolakan, tetapi akhirnya bisa diterima karena hasilnya positif demi kepentingan masyarakat luas,” katanya.
Metode pelepasan nyamuk yang mengandung Wolbachia di perkotaan China, Vietnam dan Australia sudah marak dilakukan. Bakteri alami yang banyak ditemukan pada beberapa serangga seperti lalat buah, ngengat, kupu-kupu dan capung, tidak menimbulkan penularan kepada manusia. “Sebenarnya Wolbachia ini aman terhadap manusia,” pungkasnya.(Humas UGM/Gusti Grehenson)