![](https://ugm.ac.id/wp-content/uploads/2014/01/3001141391056333599112111-767x510.jpg)
Dimasa depan, pemerintah diharapkan mengatur tata kelola Sumber Daya Alam (SDA) berbasis energi nasional yang ideal dengan mempertimbangkan ketersediaan, ekonomi, dan ketahanan energi nasional. Untuk itu, pemerintah perlu menyusun proyeksi ketersediaan energi fosil terutama minyak bumi dan batubara.
“Sekitar 60 persen energi diolah menjadi BBM, subsidi yang dikucurkan mencapai Rp 311 triliun pertahun. Semua itu dibakar dan tidak kembali, bahkan 60 persen terbuang percuma karena kesalahan pengelolaan transportasi,” papar Kepala PSE UGM, Dr. Deendarlianto, S.T., M.Eng dalam diskusi “Menguak Strategi Ketahanan Pangan dan Energi Bangsa Indonesia”, Rabu (29/1) di Pusat Studi Kebudayaan UGM.
Karena itu, katanya, penggunaan minyak bumi perlu diminimalisasi. Selain itu, perlu dilakukan upaya mendorong pemerintah untuk memperbesar peran Badan Usaha Milik Usaha Milik Negala dalam pengelolaan energi nasional. Sebab hampir 84 persen pengelolaan energi dikuasai perusahaan asing. “Chevron sendiri 40 persen untuk pengelolaan energi di Indonesia, sedangkan PT Pertamina hanya 15 persen,” katanya.
Untuk mewujudkan ketahanan energi, menurut Deendarlianto ada tiga langkah yang bisa ditempuh pemerintah. Ketiga langkah tersebut yaitu dengan peninjauan kontrak kerjasama, kontrak baru diberhentikan, dan kontrak yang berakhir di tahun 2017 untuk dikelola sendiri.
Di bidang pangan, Dekan Fakultas Pertanian UGM, Dr. Jamhari, S.P., M.P berpendapat mengedukasi masyarakat Indonesia terhadap pangan lokal perlu dilakukan. Pemerintah pusat perlu melakukan edukasi disertai dengan contoh-contoh pembiasaan agar masyarakat tidak berbalik pada produk-produk impor. “Semua itu, agar kita tidak mensia-siakan pangan lokal untuk dikonsumsi, sebab ditengah masyarakat saat ini muncul sikap westernisasi diet dan budaya makan di luar rumah”, katanya.
Kata Jamhari, kecenderungan westernisasi merupakan fenomena menarik sekaligus menjadi tantangan bagi keberadaan pangan lokal. Sebab berbagai produk lokal bila dikelola dengan baik dapat bersaing dengan pangan impor. “Taruhlah di Jogja ini ada mie lethek, wedang uwuh atau sate klathak, budaya jangan konvensional berilah sentuhan inovasi, teknologi dan kemasan, saya kira produk lokal ini bisa bersaing dengan produk asing,” katanya sembari menambahkan bila permasalahan ketahanan pangan di Indonesia bukan pada masalah teknis, namun masalah non teknis.
Dr. Aprinus Salam, Ketua Pusat Studi Kebudayaan UGM mengusulkan perlu dibuat sangsi sosial bagi pelaku budaya konsumtif ditengah masyarakat. Sebab jumlah sumber daya saat ini sudah sangat terbatas. “Kalau dulu ada istilah ono sego ono upo, mangan ora mangan waton ngumpul, hal ini perlu dibuat peribahasa baru yang lebih pas untuk saat ini karena semua kini sudah terbatas,” ungkapnya. (Humas UGM/Agung)