YOGYAKARTA – Bencana banjir yang melanda beberapa daerah di Indonesia tidak dipicu satu sumber namun banyak faktor. Oleh sebab itu, pola pikir dan kebijakan penanggulangan bencana perlu mengarah kepada kausal asosiatif. Namun, menggali dan memperdalam serta mengembangkan pengetahuan lokal masyarakat dalam menghadapi bencana juga tidak kalah penting. Hal itu mengemuka dalam dalam seminar “Menyikapi Indonesia Darurat Bencana” di kantor Pusat Studi Bencana, Selasa (28/1). Hadir sebagai pembicara, Peneliti Pusat Studi Bencana (PSBA) UGM, Dr. Sunarto; serta Kepala Seksi Data dan Informasi BMKG Yogyakarta,Toni A wijaya, S.Si.
Sunarto mengatakan daerah yang terkena bencana banjir dulunya merupakan daerah dataran rendah, bahkan menjadi daerah bekas rawa. Hal itu bisa diteliti dari asal usul nama dari setiap daerah tersebut dan didukung dari peta geologi serta geomorfologi wilayah tersebut. “Siapapun presiden atau gubernurnya tetap saja banjir karena daerah yang terkena banjir itu merupakan dataran rendah bahkan pernah jadi daerah perairan,” kata Sunarto
Namun demikian, ujarnya, kesiapsiagaan pemerintah dan masyarakat dalam penanggulangan bencana sangat diperlukan. “Untuk mengatasi permasalahan banjir dan air tanah, perlu dibangun embung dan bendungan tetapi jangan sampai bocor dan jebol,” ujarnya.
Beberapa embung dan bendungan yang bocor jebol ini diakui Sunarto akibat kesalahan teknis dalam pengerjaan pembangunan yang tidak sesuai dengan standar yang ditetapkan. “Saya pikir ini erat kaitannya dengan korupsi pada proyek bangunan,” katanya.
Kepala Seksi Data dan Informasi BMKG Yogyakarta, Toni A Wijaya, S.Si, mengaku pihaknya sulit memprediksi ketepatan kondisi cuaca di suatu daerah akhir-akhir ini. Pasalnya adanya perubahan pola arah angin dan kondisi geografis mengakibatkan kejadian cuaca ekstrem lebih besar frekuensinya dan perubahannya pun terjadi sangat cepat. “Cuaca sulit ditebak dari sisi tempat dan waktu. Tapi sekitar 70-80 % prediksi prakiraan cuaca dari BMKG selalu tepat,” tuturnya.
Kejadian banjir di daerah sekitar Pantura dan DKI Jakarta diakui Tony disebabkan tingginya curah hujan yang turun akibat adanya pertemuan arah angin yang mengakibatkan terkumpunya banyak uap air pada tempat tertentu. “Semuanya dipicu akibat badai tropis di sekitar Australia. Beberapa daerah terkena dampaknya,” paparnya.
Keunikan posisi geografis ini, kata Tony, menambah kompleksitas prediksi iklim cuaca. BMKG memang memperkirakan kondisi cuaca di Indonesia sepanjang tahun ini tidak terpengaruh el nino dan la nina. Akan tetapi, perubahan pola arah angin dan persebaran awan justru mempengaruhi jumlah curah hujan yang turun. “Itu tantangan bagi kita mengatasi penyimpangan anomali cuaca ini,” katanya. (Humas UGM/Gusti Grehenson)