![](https://ugm.ac.id/wp-content/uploads/2013/10/24101313826023381286699941-765x510.jpg)
YOGYAKARTA – Mpholle Pae – Pae, 28 tahun, merupakan salah satu dari 9 mahasiswa asing yang ikut wisuda program pascasarjana UGM, Kamis (24/10). Pria asal Lesotho, negara kecil di Selatan Afrika, diwisuda setelah selesai menempuh pendidikan master ilmu filsafat UGM selama kurang lebih 2 tahun. Pae-pae mengaku senang dan bangga dirinya bisa lulus master. Dengan demikian dia berencana untuk melamar menjadi dosen filsafat setelah kembali ke negara asalnya. “Senang, akhirnya saya bisa sukses menyelesaikan studi. Perasaan saya ini hampir sama saat pertama kali datang ke Indonesia dan kuliah di sini,” kata anak bungsu dari empat bersaudara ini, ditemui di sela-sela acara wisuda, Kamis (24/10).
Lulusan sarjana filsafat St. Agustinus Seminary Roma, Lesotho, ini mengatakan dia datang ke Indonesia pada akhir tahun 2010. Untuk bisa kuliah di Filsafat UGM ia diwajibkan mengikuti kursus bahasa Indonesia selama enam bulan. Kendati mengaku masih tetap kesulitan belajar bahasa Indonesia, namun Pae-pae mengaku teman dan dosen Filsafat sering membantunya. “Saya harus beradaptasi dan memahami bahasa yang dipakai dalam kuliah, tapi saya punya teman-teman yang baik yang mau menolong,” ujarnya.
Awalnya, Pae-pae mengaku sulit baginya untuk memahami materi perkuliahan dan diskusi. Para dosen dan mahasiswa selalu menyemangatinya. Sabar, salah satu kata dalam bahasa indonesia yang selalu dingat Pae-pae yang sering disampaikan teman padanya. “Bagi saya, orang Indonesia punya sikap dan pribadi yang berbeda dari yang selama ini saya temukan di Lesotho. Saya bersyukur sudah bisa datang ke Indonesia,” ungkapnya.
Di UGM, kata Pae-pae, ada tiga mahasiswa yang dikirim tugas belajar. Selain dirinya, dua orang lainnya kini menempuh studi di pendidikan master di Psikologi dan Fisipol. Dia bercerita, ada banyak mahasiswa Leshoto yang dikirim tugas belajar di berbagai negara dengan dana beasiswa yang diberikan oleh pemerintah setempat. “Saya tahunya setelah lihat di website tentang Indonesia yang menawarkan beasiswa khusus untuk negara-negara berkembang,” katanya.
Karena belum tahu banyak tentang wilayah Indonesia, Pae-pae awalnya berniat memilih kuliah di perguruan tinggi yang dekat dengan ibukota, yakni DKI Jakarta. Namun dalam perjalanannya, justru ia ditempatkan di Yogyakarta. “Syuklurlah saya dapat di Jogja karena biaya hidup di sini lebih murah. Kota ini sangat ramah bagi mahasiswa, tidak pernah saya dirampok, dan bebas jalan-jalan kemana-mana di Jogja,” kata Pae yang mengaku anak keluarga petani. (Humas UGM/Gusti Grehenson)