Masalah utama kesehatan jiwa yang dihadapi saat ini yaitu munculnya masalah biopsikososial di masyarakat akibat adanya modernisasi, industrialisasi dan arus globalisasi yang cepat. Selain itu, arus komunikasi dan informasi yang sangat cepat turut memengaruhi kondisi masyarakat.
Demikian dikatakan Dr. Celestinus Eigya Munthe, Sp.KJ., M.Kes, Direktur Pencegahan dan Pengendalian Masalah Kesehatan Jiwa dan NAPZA, Kementerian Kesehatan RI, saat menjadi narasumber Webinar Kesehatan Jiwa Tahun 2021 bertema “Arah Kebijakan Kesehatan Mental Indonesia”hasil kerja sama Kementerian Kesehatan RI, UNICEF dan CPMH UGM.
“Permasalahan inipun diikuti masalah-masalah lain berupa pemanasan global, isu-isu kesehatan lingkungan, kemiskinan, konflik dan bencana serta masalah-masalah hak asasi manusia, termasuk masalahan kekerasan terhadap perempuan dan anak. Juga masalah pemasungan yang masih terjadi,” ujarnya, Rabu (22/12).
Belum lagi permasalahan kelainan biologis, termasuk masalahan pergaulan di kalangan orang muda diantaranya seks bebas dan pernikahan dini. Kondisi ini tentu menyebabkan beban pada masyarakat dan menimbulkan permasalahan kesehatan jiwa.
Dampak yang muncul adalah peningkatan orang dengan masalah kesehatan jiwa, orang dengan gangguan jiwa berat, seperti depresi, bipolar, psikotik akut, skizofrenia, dan skizoafektif.
“Sementara sesuai dengan siklus hidup, ada juga orang tua dengan demensia dan demensia alzheimer dan juga munculnya masalah bunuh diri yang juga menjadi perhatian Kementerian Kesehatan,” ucapnya.
Menurut Munthe, kondisi ini tentu berdampak pada kualitas dan produktivitas sumber daya manusia secara keseluruhan dan menambah tinggi beban kesehatan. Oleh karena itu, masalah ini harus diselesaikan oleh berbagai lini dengan program lintas sektoral yang ada di setiap kementerian maupun lembaga.
“Dan saya kira perlu melibatkan masyarakat sebagai pelaku atau subjek dan bukan lagi objek dalam setiap kebijakan-kebijakan Kementerian Kesehatan dalam upaya meningkatkan penanggulangan kesehatan jiwa,” terangnya.
Data Rikesdas 2013 s.d 2018 menyebut prevalensi gangguan mental pada penduduk berumur lebih dari 15 tahun cukup tinggi ada sekitar 3,6 persen – 19,8 persen. Sementara prevalensi depresi pada kelompok umur 15 tahun ke atas menurut provinsi lebih kurang antara 1,8 persen – 12,3 persen untuk setiap provinsi yang ada.
Dari data tersebut maka yang mendapatkan pengobatan depresi hanya 9 persen dan 81 persen penderita depresi lainnya tidak mendapat pengobatan. Demikian pula soal sebaran pasung di Indonesia, data Riskesdas 2018 dan laporan Direktorat Pencegahan dan Pengendalian Masalah Kesehatan Jiwa dan Napza tahun 2019 menyebutkan bahwa permasalahan pasung masih ada.
“Meski ini telah kita upayakan dapat diatasi pada tahun 2009 sampai hari ini juga ternyata masih ada. Kita belum bisa mengeliminasi pasung dan ini tentunya memengaruhi kualitas hak asasi manusia,” katanya.
Menyangkut masalah penyalahgunaan narkotika, psikotropika dan zat adiktif, data menyebut anak laki-laki dan perempuan yang mendapat gangguan masalah mental emosional dan depresi cukup tinggi per 39,9 persen dan 4-6 persen mempunyai keinginan atau memiliki pikiran untuk bunuh diri. Data juga menyebut 10, 6 persen kematian akibat bunuh diri terjadi pada usia antara 10 – 20 tahun.
“Dari data tersebut maka estimasi biaya kerugian yang muncul secara perhitungan ekonomi kesehatan akibat masalah narkotika sekitar 77, 42 triliun rupiah untuk pengobatan pribadi dan 7,2 triliun untuk kerugian biaya sosial yang timbul akibat penyalahgunaan Napza,” paparnya.
Inang Winarso, Direktur Eksekutif YKIS, mengungkapkan pandemi Covid-19 telah menyebabkan banyak orang mengalami keguncangan psikis karena situasi yang sangat mengejutkan. Pandemi yang sangat tiba-tiba begitu berdampak sangat luas.
Hal-hal semacam itu, katanya, perlu diantisipasi dengan regulasi. Regulasi dibutuhkan untuk arah kebijakan kesehatan jiwa di Indonesia agar dapat membantu masyarakat guna mengatasi, mengurangi risiko atau prevalensi gangguan kesehatan jiwa di Indonesia.
“Kita perlu bergandengan tangan untuk semua pihak, YKIS sangat yakin dapat sebagai perekat berbagai pihak dalam menetapkan desain besar kesehatan jiwa di Indonesia. Ini sangat diperlukan agar masing-masing punya target dengan indikator cukup jelas dari peran masing-masing lembaga atau masyarakat sehingga kita punya ukurannya dan kita bercita-cita dapat menurunkan prevalensi gangguan kesehatan jiwa menjadikan indeks kebahagiaan keluarga di Indonesia meningkat,” terangnya.
Dr. Nova Riyanti Yusuf, Sp.KJ, Secretary General Asian Federation of Psychiatric Associations, menambahkan secara historis RUU kesehatan Jiwa terlahir karena banyaknya pelanggaran hak asasi manusia terhadap ODGJ dan ODMK. Oleh karena itu, diperlukan best practice dalam proses perjalanan RUU Kesehatan Jiwa di DPR RI.
“Tidak hanya itu, diperlukan pula best practices dan evidence –based dalam implementasi UU No 18 tahun 2014 tentang Kesehatan Jiwa dan untuk memastikan UU tersebut dapat dirasakan manfaatnya maka sangat perlu peraturan-peraturan turunannya,” ungkapnya.
Pendapat senada disampaikan Dr. Diana Setiyawati, MHSc., Ph.D, Ketua Peneliti Central for Public Mental Health Fakultas Psikologi UGM. Menurutnya, perlu membuat koordinasi kesehatan jiwa yang terpadu dan membuat follow up UU No. 18 tahun 2014 tentang Kesehatan Jiwa.
“Perlu pula mendorong pengalokasian dana daerah yang memadai untuk kesehatan jiwa agar menjamin tercovernya berbagai diagnosis gangguan jiwa ke dalam sistem BPJS,” ujarnya.
Penulis : Agung Nugroho