YOGYAKARTA-Waduk Mrica atau Waduk Panglima Besar Soedirman terletak di Kecamatan Bawang dan Kecamatan Wanadadi, Kabupaten Banjarnegara, Jawa Tengah. Fungsi utama waduk ini adalah sebagai PLTA, dan fungsi sekundernya sebagai irigasi, pariwisata, dan pengendali banjir. Perubahan penggunaan lahan dari lahan hutan menjadi lahan pertanian tanaman sayuran (kentang) di daerah tangkapan air Waduk Mrica telah menyebabkan terjadinya erosi yang tinggi (400 ton/hektar per tahun).
Untuk meningkatkan produktifitas lahan maka penggunaan pupuk pertanian menjadi meningkat sehingga meningkatkan laju nutrien (Nitrogen dan Fosfor) ke sungai dan waduk. Oleh karena itu diduga telah terjadi kondisi eutrofikasi kultural yang disebabkan masuknya nutrien N dan P ke Waduk Mrica.
“Ada proses peningkatan nutrien nitrogen dan fosfor di sana. Biasanya ini diawali dengan perubahan kualitas fisik dan kimiawi air dan diikuti perubahan secara biologis yaitu blooming algae dan makrofita akuatik sehingga mengganggu pemanfaatan danau dan waduk,â€kata Agatha Sih Piranti pada ujian promosi doktor Program Studi Ilmu Lingkungan Sekolah Pascasarjana UGM, Sabtu (26/5). Agatha mempertahankan disertasinya yang berjudul Kajian Kriteria Nutrien (Nitrogen dan Fosfor) Sebagai Dasar Dalam Penilaian Status Trofik Perairan Waduk Mrica Banjarnegara Jawa Tengah Indonesia.
Penelitian ini dilakukan di Waduk Mrica selama satu tahun (Maret 2009-Februari 2010). Penelitian menggunakan metode survai dengan teknik pengambilan sampel secara purposive di tujuh belas lokasi yang meliputi empat titik di sungai yang merupakan inlet waduk (Serayu, Merawu, Lumajang dan saluran Liangan), sebelas titik di perairan waduk dan dua titik di daerah outlet waduk serta di zona lakustrin pada lima jeluk yaitu 0,2, 5, 10, 20, dan 30 meter.
“Variabel penelitian nutien, klorofil dan kualitas air yang terkait eutrofikasi, serta inflow dan outflow waduk,â€kata dosen Fakultas Biologi Universitas Jenderal Soedirman (UNSOED) itu.
Agatha menjelaskan bahwa kandungan nutrien suatu badan air digunakan untuk menyatakan status trofik suatu perairan yang mencerminkan kesuburan badan air tersebut. Dalam rangka pengelolaan dan pengendalian eutrofikasi, maka penilaian status trofik menggunakan kriteria nutrien yang kurang tepat menyebabkan ketidaktepatan dalam menentukan daya tamping atau daya dukung suatu badan air terhadap masukan (input) nutrien.
“Jadi, perlu disusun kriteria nutrien waduk yang berada di wilayah tropis (khususnya Waduk Mrica) yang mempunyai karakteristik ekosistem yang berbeda dengan wilayah sub tropis,â€tegasnya.
Dari hasil penelitian yang dilakukannya menunjukkan bahwa Waduk Mrica mendapatkan input nutrien (TN 374.623,08 ton dan TP 41.117,18 ton) lebih tinggi dibandingkan output (TN 339.922,49 ton dan TP 33.179,15 ton) sehingga Waduk Mrica mengalami surplus TN dan TP masing-masing sebesar 34.700,59 ton (9,26%) dan 7.938,02 ton (19,31%. Surplus ini menjadi residu yang melayang dan kemudian terendapkan di sedimen Waduk Mrica. Sementara itu secara spasial N dan P yang masuk ke Waduk Mrica terdistribusi merata dari zona riverin sampai zona lakustrin.
Tingginya input nutrien dari daerah tangkapan air (DTA) pada musim penghujan menyebabkan secara temporal distribusi TP pada musim penghujan lebih tinggi daripada musim kemarau, sedangkan adanya pola operasional waduk berdasarkan target level menyebabkan secara temporal distribusi TN lebih tinggi pada musim kemarau dibanding musim penghujan.
“Dengan kondisi tersebut maka perlu dilakukan penurunan input nutrien dari DTA ke Waduk Mrica misalnya dengan reboisasi karena terjadinya eutrofikasi akan mempercepat terjadinya pendangkalan waduk,â€tegas Agatha yang lulus doktor dengan predikat sangat memuaskan itu (Humas UGM/Satria AN)