Universitas Gadjah Mada (UGM) meluncurkan buku baru berjudul Ilmu untuk Rakyat, Untaian Cinta dari Kampus Biru. Buku setebal 169 halaman ini merupakan tulisan karya Rektor bersama dengan doktor-doktor muda UGM yang tergabung dalam Unit Percepatan Pencapaian Renstra UGM. Secara keseluruhan, buku memaparkan 16 tema berbeda guna memberdayakan masyarakat. “Tentu saja tidak berhenti di sini. Bagaimanapun kami akan terus melakukan pengabdian pada masyarakat, baik di level kecamatan, desa, hingga pedusunan,” ujar Dr. Edhie Purnawan, di gedung baru Perpustakaan UGM.
Rektor, Prof. Ir. Sudjarwadi, M.Eng., Ph.D., mengakui buku kecil ini dibuat atas inisiatif 15 doktor muda dosen UGM pada akhir tahun 2011. Buku ini merupakan kumpulan gagasan tentang pemanfaatan ilmu untuk rakyat yang dilandasi dengan rasa cinta ilmuwan kepada masyarakat. “Ini merupakan ungkapan cinta mereka pada rakyat secara lepas-lepas sesuai bidang keilmuan tiap-tiap dosen,” kata Rektor.
Berbagai ilmu yang ditulis dalam buku ini tersaji secara sederhana dengan beraneka ragam kombinasi pengembangan dan penerapannya untuk rakyat. Cinta menjadi kata kunci, yang diyakini benih-benihnya dapat tumbuh subur. “Walaupun tulisan lepas-lepas dan sederhana dan belum menemukan jalan operasional, namun atas nama kekuatan cinta kepada rakyat, Allah Swt. tentunya akan menunjukkan jalan bagi para doktor muda dalam mengaktualisasikan sinergi dalam karya-karyanya,” imbuh Rektor.
Menyampaikan kesan terhadap buku ini, Rektor terpilih UGM, Prof. Dr. Pratikno, M.Soc.Sc., mengatakan para dosen, mahasiswa, pusat studi, fakultas, dan laboratorium-laboratorium di UGM sesungguhnya telah banyak melakukan pekerjaan untuk kepentingan masyarakat. Mereka meyakini ilmu dapat sangat berbahaya bila tidak diorientasikan untuk kepentingan rakyat, masyarakat, dan kepentingan masa depan bangsa. “Seperti sewaktu di pemilihan rektor beberapa waktu lalu, tagline yang saya sampaikan adalah UGM sebagai rujukan kemajuan bangsa, artinya UGM adalah rujukan untuk memecahkan masalah-masalah bangsa sekaligus memanfaatkan potensi yang ada,” katanya.
Melihat apa yang telah dilakukan unit-unit, laboratorium dan pusat-pusat studi menunjukkan inovasi yang dilakukan UGM sangat luar biasa. Oleh karena itu, untuk berbagai produk dan inovasi dibutuhkan pengawalan dari hulu hingga hilir agar benar-benar sampai ke tengah masyarakat. “Prototipe sudah banyak dilakukan pusat-pusat studi, tapi jika sepuluh tahun kemudian masih belum kelihatan di jalanan, justru yang muncul adalah produk dari negara lain, ini tentu menjadi pekerjaan rumah,” tambahnya.
Mewakili unsur bisnis dari skema Akademis, Bisnis, Community dan Goverment (ABCG), Ruslan Wahyudi selaku Wakil Pimpinan BRI Wilayah Yogyakarta mengatakan mencintai rakyat ujung-ujungnya adalah pemberdayaan untuk rakyat. BRI yang mengemban tugas dan fungsi sebagai bank umum telah banyak melakukan pekerjaan-pekerjaan untuk rakyat, termasuk pembuatan buku, juga terkait dengan pemberdayaan untuk ekonomi kerakyatan dan berbagai aktivitas yang berkaitan dengan finansial.
Berbagai skema yang ditawarkan di antaranya dalam bentuk hibah. Di Jogjakarta saja, ratusan miliar rupiah dana dikucurkan baik untuk penanganan Merapi maupun bantuan-bantuan dalam bentuk CSR. “Kita juga bisa mengucurkan untuk program-program bersifat kemitraan, termasuk Kredit Usaha Rakyat,” ujar Ruslan.
Sementara itu, Brotoriyanto, Kepala Desa Tepus, Wonosari, berharap dengan peluncuran buku untuk rakyat dapat membantu penuh kebutuhan warga masyarakat, terutama masyarakat Desa Tepus yang hingga saat ini masih tergolong desa tertinggal. “Perlu saya sampaikan mesti tidak ada sangkut pautnya dengan launching, keluhan warga kami yang selalu mendapat musibah setiap tahun, yaitu kekeringan. Padahal melihat potensi yang dimiliki sebenarnya warga Tepus tidak kekurangan air sebab di pinggiran pantai banyak umbul atau air dalam tanah. Sayang, air tidak sampai di desa sehingga untuk kebutuhan air minum warga desa dari pinggiran pantai membeli per 5000 liter dengan harga 80.000 s.d. 150.000 rupiah untuk mencukupi kebutuhan 2 sampai 3 minggu saja. Saya berharap alangkah baiknya kalau air yang dipantai atau umbul bisa naik ke pemukiman dan mencukupi untuk kebutuhan kami,” pungkas Brotoriyanto. (Humas UGM/ Agung)