YOGYAKARTA-Indonesia saat ini telah dikuasai oleh logistik, khususnya provider logistik dari luar negeri, sehingga menyebabkan mahalnya biaya transportasi perdagangan Indonesia terutama di kawasan. Kondisi ini berbeda dengan jaman dulu, seperti jaman kerajaan Majapahit, Indonesia atau Nusantara saat itu pernah menguasai logistik.
“Kita ini negara kepulauan yang besar dan kuat di bidang maritim. Sayangnya, sekarang kita justru telah dikuasai oleh logistik, bukan menguasai logistik seperti halnya di jaman kerajaan dulu,â€urai Edy Putra Irawady, Deputi IV Bidang Koordinasi Industri dan Perdagangan Menteri Koordinator Perekonomian, pada “Sosialisasi Cetak Biru Pengembangan Sistem Logistik Nasional†yang diadakan oleh Pusat Studi Transportasi dan Logistik (PUSTRAL) UGM di Grha Sabha Pramana (GSP) UGM, Kamis (3/5).
Edy mencontohkan biaya transportasi perdagangan di Indonesia saat ini masih mencapai 14,42 persen dari total biaya produksi, atau 27 persen dari GDP (Gross Domestic Product). Menurut Edy biaya tersebut masih termasuk yang tertinggi di kawasan.
“Ini masih termasuk yang cukup mahal jika dibandingkan misalnya dengan biaya transportasi perdagangan di Amerika Serikat yang hanya mencapai 9 persen dari GDP mereka,â€kata Edy.
Dengan kondisi tersebut maka saat ini pemerintah terus mengembangkan sistem logistik nasional berdasarkan Perpres Nomor 26 Tahun 2012 tentang Cetak Biru Pengembangan Sistem Logistik Nasional. Diharapkan dengan pengembangan sistem logistik nasional itu biaya trasportasi perdagangan bisa lebih dikurangi sehingga berbagai komoditas atau produk dalam negeri bisa lebih bersaing.
“Sistem logistik yang tidak efisien akan menciptakan disparitas harga antardaerah maupun kelangkaan komoditi di suatu daerah. Ini yang akan dibenahi dengan Sislognas,â€katanya.
Sementara itu pakar dari Center for Logistics and Supply Chain Studies, ITB, Y.Anggadinata dalam acara tersebut mengusulkan adanya konsep tentang dry port atau pelabuhan daratan. Dry port atau pelabuhan daratan ini dibangun dengan maksud selain memberikan fasilitas perdagangan agar manfaat ekonomi lebih banyak diperoleh oleh pelaku usaha nasional, serta mendorong wilayah tersebut menjadi Pusat Pertumbuhan Ekonomi.
“ Setidaknya ini bisa untuk meminimalisir biaya transportasi terutama bagi industri menengah kecil yang berskala ekspor,â€kata Anggadinata.
Dry port ini tidak sekedar sebagai tempat bongkar/muat dan customs clearance, tetapi juga menjadi Trade Facilitator atau tempat dilakukannya transaksi perdagangan internasional. Dry port dapat menjadi “common facilities & services†bagi penyiapan kargo tujuan ekspor agar memenuhi aturan sistem logistik negara pengimpor
“Di pelabuhan daratan ini segala administrasi termasuk kepabeanan dan kargo harus bisa diselesaikan sehingga bisa ditekan lebih murah karena produknya tinggal dimasukkan ke pelabuhan laut untuk diekspor,” pungkasnya (Humas UGM/Satria AN)